Jumat, 27 Januari 2017

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

Disusun oleh :
1. Dea Tita Hastika
       2. Fitriya Ningsih
   3. Ines Novika Santia

Dosen Pengampu :
Wahyu Yulianto, M.Pd.

STKIP KUSUMA NEGARA
2015


KATA PENGANTAR



Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Pancasila.
Makalah tentang Pancasila Sebagai Filsafat ini disusun untuk melengkapi tugas Pendidikan Pancasila. Pengembangan dan penyusunan materi diberikan secara urut. Penyajian materi didesain untuk memperkuat pemahaman konsep tentang Pancasila Sebagai Filsafat dengan penjelasan yang cukup panjang.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi. Namun penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala tersebut dapat teratasi.
Penyusunan makalah ini disesuaikan dengan referensi yang didapat dari buku maupun internet. Segala kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan penyusun demi penyempurnaan tugas makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca dan bermanfaat bagi pendidik serta rekan-rekan dalam mengembangkan ilmu pendidikan pancasila.






Jakarta, 24  Oktober 2015



Penyusun



BAB I

PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang

Setiap negara atau bangsa di dunia ini mempunyai sistem nilai (filsafat) tertentu yang menjadi pegangan bagi anggota masyarakat dalam menjalankan kehidupan dan pemerintahannya. Filsafat negara merupakan pandangan hidup bangsa yang diyakini kebenarannnya dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat yang mendiami negara tersebut. Pandangan hidup bangsa merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap bangsa. Nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi segala aspek suatu bangsa. Nilai adalah suatu konsepsi yang secara eksplisit maupun implisit menjadi milik atau ciri khas seseorang atau masyarakat. Pada konsep tersembunyi bahwa pilihan nilai merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku suatu masyarakat.
Sistem nilai (filsafat) yang dianut suatu bangsa merupakan filsafat masyarakat budaya bangsa. Bagi suatu bangsa, filsafat merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, filsafat berfungsi dalam menentukan pandangan hidup suatu masyarakat dalam menghadapi suatu masalah, hakikat dan sifat hidup, hakikat kerja, hakikat kedudukan manusia, etika dan tata krama pergaulan dalam ruang dan waktu, serta hakikat hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang juga memiliki filsafat seperti bangsa-bangsa lain. Filsafat ini tak lain adalah yang kita kenal dengan nama Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia.

B.   Rumusan Masalah
1          1. Jelaskan yang dimaksud dengan cara berfikir filsafat!
            2. Jelaskan pengertian pancasila secara filsafat!
           3. Jelaskan nilai-nilai pancasila menjadi dasar dan arah keseimbangan antara hak dan kewajiban               asasi manusia!

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Cara Berpikir Filsafat

1.      Pengertian dan Cara Berpikir Filsafat
          Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philo-shopia. Istilah ini merupakan bentukan dari kata asal philo (philein) yang berarti cinta, dan sophos yang artinya hikmah/kebijaksanaan. Jadi, filsafat artinya mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan mengenai hakekat dari segala sesuatu yang mencari sebab-sebabnya yang terdalam dengan menggunakan rasio/akal budi manusia.
            Menurut D. Runes, filsafat berarti ilmu yang paling umum yang mengandung usaha mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan. Filsafat tidak hanya menyelidiki struktur obyeknya sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, melainkan selalu menyelidiki hakekat obyeknya, mencari inti hakekatnya, dengan berpikir yang sedalam-dalamnya secara mendasar sampai pada akar-akarnya yang terakhir.
            Filsafat bukan agama, karena dalam agama manusia bertitik tolak dari wahyu Ilahi, dari ungkapan Tuhan kepada hamba-Nya. Filsafat sama sekali tidak bertitik tolak dari wahyu Ilahi, melainkan senantiasa tetap mempergunakan rasio/akal budi murninya.
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu :
1.      Keheranan, sebagian filsuf berpendapat bahwa adanya kata heran merupakan asal dan filsafat. Rasa heran itu akan mendorong untuk menyelidiki.
2.      Kesangsian, merupakan sumber utama bagi pemikiran manusia yang akan menuntun pada kesadaran. Sikap ini sangat berguna untuk menemukan titik pangkal yang kemudian tidak disangsikan lagi.
3.      Kesadaran akan keterbatasan, manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Kemudian muncul kesadaran akan keterbatasan bahwa di luar yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa objek kajian filsafat meliputi :
1.      Objek Material, yaitu kajian filsafat yang meliputi sesuatu baik berupa material konkret seperti manusia, alam, benda, binatang, dan sebagainya, maupun sesuatu yang bersifat abstrak seperti, nilai-nilai, ide-ide, ideologi, moral, pandangan hidup dan sebagainya.
2.      Objek Formal, yaitu cara pandang seseorang terhadap objek material tersebut. Misalnya dari sudut pandang nilai (bidang aksiologi), dari sudut pandang pengetahuan (bidang epistemologi), dari sudut pandang keberadaan (bidang ontologi), dari sudut pandang tingkah laku baik dan buruk (bidang etika), dari sudut pandang keindahan (bidang estetika) dan sebagainya. Filsafat khusus misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat pancasila, filsafat bahasa dan lainnya yang membicarakan hal-hal yang sifatnya khusus.
            Dari pengertian tentang filsafat di atas dapat diketahui cara berpikir filsafat, antara lain     :
1.      Kritis, yaitu selalu mempertanyakan segala sesuatu, problema-problema, dan hal-hal  yang dihadapi manusia.
2.      Radikal, yaitu bukan hanya sampai pada fakta-fakta yang sifatnya khusus dan empiris belaka, namun sampai pada intinya yang terdalam yaitu hakekat dari sesuatu objek. (radix : akar-akarnya)
3.      Konseptual, yaitu tidak hanya sampai pada persepsi manusia saja, tapi merupakan kegiatan akal budi dan mental manusia yang berusaha menyusun konsep-konsep yang berasal dari generalisasi serta abstraksi dari hal-hal yang sifatnya khusus.
4.      Koheren (runtut), yaitu berfikir secara sistematis, runtut, unsur-unsurnya tidak saling terpisah, tidak saling bertentangan, tidak acak-acakan, kacau dan fragmentaris.
5.      Rasional, yaitu pemikiran-pemikirannya dapat diterima oleh akal sehat manusia (logis).
6.      Komprehensif (menyeluruh), yaitu kesimpulan diambil berdasarkan banyak pertimbangan dari berbagai sudut pandang, berbeda dengan ilmu pengetahuan.
7.      Universal, yaitu bersifat umum bagi seluruh umat manusia, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, misalnya keadilan, kebenaran dan kebaikan.
8.      Spekulatif, yaitu menduga-duga atau memprediksi dengan kekuatan akal manusia untuk menemukan jawaban dari fakta yang dihadapi.
9.      Bebas, yaitu berpikir sampai batas-batas yang luas, tidak terikat pada kekangan-kekangan sosial, politik, tradisi, agama dan moral.
10.  Implikatif, yaitu jawaban dari suatu permasalahan tidak pernah tuntas, tetapi menimbulkan pertanyaan baru lagi.
11.  Reflektif, yaitu dalam melihat (berkaca) pada kehidupan di masyarakat, apa yang sebaiknya dilakukan agar hidup menjadi lebih baik dan bermakna.


2.      Sistem Filsafat
            Pemikiran filsafat berasal dari berbagai tokoh yang menjadikan manusia sebagai subyek. Perbedaan latar belakang tata nilai dan alam kehidupan, cita-cita dan keyakinan yang mendasari tokoh filsafat itu melahirkan perbedaan-perbedaan mendasar antar ajaran filsafat. Setiap jalan pikiran atau penalaran tersusun atas pernyataan-pernyataan yang dapat diselidiki benar tidaknya. Pernyataan-pernyataan serupa itu juga disebut putusan atau proposisi.
            Suatu ajaran filsafat yang bulat mengajarkan tentang berbagai segi kehidupan yang mendasar. Suatu sistem filsafat sedikitnya mengajarkan tentang sumber dan hakikat realitas, filsafat hidup dan tata nilai (etika), termasuk teori terjadinya pengetahuan dan logika. Sebaliknya, filsafat yang mengajarkan hanya sebagian kehidupan tak dapat disebut sistem filsafat, melainkan hanya ajaran filosofis seorang ahli filsafat.

3.      Aliran-aliran Filsafat
Aliran-aliran utama filsafat yang ada sejak dahulu hingga sekarang adalah sebagai berikut :
1.      Aliran Materialisme
           Aliran ini mengajarkan bahwa hakekat realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia ialah materi. Semua realitas tersebut ditentukan oleh materi (misalnya benda ekonomi, makanan) dan terikat pada hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat (hukum kausalitas) yang bersifat objektif.
2.      Aliran Idealisme/Spiritualisme
           Aliran ini mengajarkan bahwa ide dan spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia. Subjek manusia sadar atas realitas dirinya dan kesemestaan karena ada akal budi dan kesadaran rohani. Manusia yang tak sadar atau mati sama sekali  tidak menyadari dirinya apalagi realitas semata. Jadi, hakekat diri dan kenayataan kesemestaan ialah akal budi (ide dan spirit).
3.      Aliran Realisme
           Aliran ini mengajarkan bahwa kedua aliran di atas (materialisme dan  idealisme) adalah bertentangan, tidak sesuai dengan kenyataan (tidak realistis). Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata. Kehidupan seperti tampak pada tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, mereka hidup berkembang biak, kemudian tua dan akhirnya mati. Pastilah realitas demikian lebih daripada sekadar materi. Oleh karenanya, realitas adalah paduan benda (materi dan jasmaniah) dengan yang non materi (spiritual, jiwa, dan rohaniah). Khusus pada manusia, tampak dalam gejala daya pikir, cipta, dan budi. Jadi menurut aliran ini, realitas merupakan sintesis antara jasmaniah-rohaniah, materi dan nonmateri.         

B.   Pengertian Pancasila Secara Filsafat

1.      Pancasila Sebagai Filsafat
            Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi pancasila. Secara ringkas filsafat pancasila merupakan refleksi kritis dan rasional tentang pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh. Filsafat pancasila juga mengungkap konsep-konsep yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga manusia pada umumnya. Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia ditetapkan menjadi ideologi bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
            Pembahasan filsafat pancasila dapat dilakukan secara deduktif dan induktif. Secara deduktif dilakukan dengan mencari hakikat pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif. Secara induktif yakni dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.




2.      Aspek-aspek Pancasila Sebagai Filsafat
1)      Aspek Ontologi
         Ontologi menurut Runes, adalah teori tentang adanya keberadaan atau eksistensi. Sementara menurut Aristoteles sebagai filsafat pertama, ontologi adalah ilmu yang menyelidiki hakekat sesuatu dan disamakan artinya dengan metafisika.
         Jadi, ontologi adalah bidang atau cabang filsafat yang menyelidiki makna yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada, dan hakekat ada, termasuk ada alam, manusia, metafisika dan alam semesta atau kosmologi. Bidang ontologi meliputi ; penyelidikan tentang keberadaan manusia, benda, alam semesta. Artinya ontologi adalah menjangkau adanya tuhan dan alam ghaib seperti rohani dan kehidupan sesudah kematian (alam dibalik dunia, alam metafisika).
         Dalam konteks ontologi, pancasila “ada” dalam realitas/kenyataan, sebab “ada” nya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil, yang menjadi landasan sila-sila Pancasila itu “ada” dalam realitas/kenyataan. Nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam adat istiadat, budaya, dan religi, “ada” pada bangsa Indonesia sejak dahulu kala, dan masih tetap “ada” sampai sekarang.
Hubungan :
         Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengakui adanya kekuatan gaib yang di luar manusia menjadi pencipta, pengatur serta penguasa alam semesta.
2)      Aspek Epistemologi
         Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, serta batas dan validitas ilmu pengetahuan. Yang termasuk cabang epistemologi adalah matematika, logika, sematik, dan teori ilmu.
         Dilihat dari aspek epistemologi, Pancasila merupakan pengetahuan ilmiah dan filsafati, dan bisa diteliti dan diuji kebenarannya.



Hubungan :
         Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat tujuan Negara Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, dan UUD sendiri berlandaskan pada Pancasila.
3)      Aspek Aksiologi
         Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki makna nilai, sumber nilai, jenis dan tingkatan nilai dan hakekat nilai.
         Dalam konteks aksiologi, Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung nilai manfaat yaitu untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa ini, dan mengandung nilai manfaat sebagai acuan moral bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diangkat dari kehidupan bangsa Indonesia yang diyakini sebagai sesuatu hal yang baik, benar dan indah.
Hubungan :
         Dalam menyelidiki makna nilai dari suatu terdapat norma-norma masyarakat yang sudah mendarah daging dalam beretika yang merupakan Way Of Life dan ciri khas Bangsa Indonesia yang , Pancasila sendiri adalah cerminan dari Bangsa Indonesia sendiri. Adapun kepercayaan pada Tuhan termasuk cangkupan nilai di axiologi, sejak dahulu leluhur kita sudah menciptakan banyak karya yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa sesuai kepercayaannya.

3.      Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
            Meskipun Pancasila terdiri dari lima sila, tetapi kelimanya merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Masing-masing sila tidak dapat berdiri sendiri, maksudnya sila yang satu terlepas dari sila yang lain. Sila-sila Pancasila mempunyai hubungan yang erat antara yang satu dengan lainnya. Kelima sila itu bersama-sama menyusun pengertian yang satu, bulat dan utuh.
            Sebagai sistem filsafat, Pancasila telah memenuhi persyaratan di antaranya sebagai berikut :
a.       Sebagai satu kesatuan yang utuh, berarti kelima sila dari sila I s.d. V merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Memisahkan satu sila berarti menghilangkan arti Pancasila.
b.      Bersifat konsisten dan koheren, berarti lima sila Pancasila itu urut-urutan sila I s.d. V bersifat runtut tidak kontradiktif, dan nilai yang lebih esensial didahulukan. Esensi pokok sila I s.d. V : Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. Tuhan menciptakan manusia, manusia butuh interaksi dengan manusia lain (persatuan), setelah bersatu mencapai tujuan bersama (keadilan) dan perlu musyawarah terlebih dahulu.
c.       Ada hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lain, berarti sila I s.d. V ada hubungan keterkaitan dan ketergantungan yang menjadi lima sila tersebut bulat dan utuh.
d.      Ada kerjasama, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pendukung Pancasila itu yang melakukan kerjasama yaitu bangsa Indonesia sendiri.
e.       Semua mengabdi pada satu tujuan yaitu tujuan bersama, maksudnya adalah semua pendukung Pancasila (bangsa Indonesia) harus bekerjasama untuk tujuan bersama seperti yang dimaksud dalam UUD 1945 yaitu kesejahteraan bersama.
            Konsekuensi dari sistem tersebut menyebabkan Pancasila memiliki susunan hirarkis dan bentuk piramidal. Hirarkis artinya bertingkat, sedangkan piramidal dipergunakan menggambarkan hubungan yang bertingkat dari sila-sila Pancasila dalam urutan luas cakupan (kuantitas) dan juga dalam hal isi sifatnya (kualitas).
            Jika dilihat dari segi esensinya, urut-urutan lima sila ini menunjukan rangkaian tingkat dalam “luas cakupan” dan “isi sifatnya.” Artinya sila yang dibelakang sila lainnya lebih sempit/kecil cakupannya atau merupakan pengkhususan atau bentuk penjelmaan dari sila-sila yang mendahuluinya. Dengan adanya urut-urutan dari kelima sila Pancasila yang mempunyai hubungan mengikat satu sama lain, sehingga Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hal ini menjadikan setiap sila dari Pancasila didalamnya terkandung sila-sila lainnya, ini berarti  :
1.      KeTuhanan Yang Maha Esa, adalah KeTuhanan yang berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah Kemanusiaan yang berkeTuhanan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.
3.      Persatuan Indonesia, adalah persatuan yang berkeTuhanan, berkemanusiaan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang berkeTuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, dan berkeadilan sosial.
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah keadilan yang berkeTuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, dan berkerakyatan.
            Konsekuensi logis dari hirarkis piramidal sila-sila Pancasila tersebut, maka sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa menjadi puncak dari sila di bawahnya, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

C.   Nilai-nilai Pancasila Menjadi Dasar dan Arah Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban Asasi Manusia

            Pandangan mengenai relasi antara manusia dengan masyarakat merupakan falsafah kehidupan masyarakat yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat. Untuk merumuskan relasi manusia dalam masyarakat, ada dua pandangan yang berbeda, yakni pandangan pertama, melihat manusia sebagai pribadi atau individu. Penekanannya pada  kehidupan personal manusia. Dalam kehidupan seperti ini sering terjadi persaingan yang tidak sehat. Ada banyak pelanggaran dan penindasan terhadap kaum lemah. Di sini berlaku istilah “yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin.”. Cara hidup seperti ini menimbulkan kepincangan dalam hidup bermasyarakat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tertuang dalam sila kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Pandangan kedua, yakni pandangan yang melihat hubungan manusia dengan masyarakat sebagai sosial. Penekanannya terletak pada aspek masyarakat. Masyarakat dianggap segala-galanya, masyarakat dijadikan sebagai tolak ukur untuk semua segi kehidupan. Di sini dimensi demokrasi sangat menonjol. Bila ini yang berlaku, maka manusia kehilangan kepribadiannya. Individu dianggap seolah-olah sebuah mesin raksasa masyarakat yang menggerakkan kehidupan bersama. Paham ini akan menimbulkan tekanan batin karena hak-hak pribadi diabaikan, dengan demikian kebahagiaan sebagaimana yang dicita-citakan bersama tidak akan tercapai.
            Kedua paham di atas, dari sudut pandang Pancasila dan hubungan manusia dengan masyarakat tidak memilih salah satu dari keduanya. Juga tidak memadukan keduanya menjadi satu. Karena karakter individualisme dan liberalisme serta komunisme tidak sesuai dengan prinsip Pancasila. Pancasila melihat bahwa kebahagiaan manusia hanya bisa tercapai jika dikembangkan melalui hubungan yang serasi antara manusia dengan masyarakat, manusia dengan Allah Yang Maha Kuasa dan manusia dengan alam semesta.
            Untuk menciptakan keseimbangan antara hubungan hak dan kewajiban menurut nilai-nilai dari Pancasila, ada tiga hal yang perlu diketahui antara lain :
1.      Hubungan Vertikal
            Hubungan vertikal adalah hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, seperti yang terealisasi dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama dalam nilai Pancasila menjadi yang terutama dan pertama. Relasi manusia dengan Tuhan, merupakan hal fundamental yang harus dihidupi. Manusia wajib taat pada perintah Tuhan dan menghentikan segala larangan-Nya. Manusia yang tunduk pada hukum Tuhan akan mendapat ganjarannya, manusia akan memperoleh imbalan yang menjadi haknya di kemudian hari, tetapi tidak diterima di dunia ini. Imbalan itu akan diterima pada akhir hayat nantinya. Hubungan yang baik antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya, hanya bisa tercipta bila manusia tunduk pada hukum Ilahi.
            Menurut sila Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia Indonesia disadarkan dan diingatkan akan adanya Allah dengan sifat yang dimiliki-Nya. Pengenalan dan pengamalan akan Allah, diharapkan manusia memiliki sikap dan tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan Allah. Sikap yang tepat dianjurkan dalam butir-butir P4 (pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila), sebagai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila.
2.      Hubungan Horizontal
            Hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan sesamanya, baik sebagai warga masyarakat, warga bangsa dan warga negara. Sebagai warga negara memiliki kewajiban kepada negara, misalnya membayar pajak. Sedangkan hak warga negara yang harus diterima dari negara, misalnya infrastruktur (jalan raya, PAM, Listrik, dan lain- lain).
            Sila kedua sangat menekankan sifat Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Manusia diharapkan menyadari keluhuran martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan melaksanakan apa yang dikehendakinya. Sikap saling mengakui, menghargai, menghormati, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan adalah sikap dasar dari pengamalan Pancasila khususnya sila kedua.
3.      Hubungan Alamiah
            Hubungan alamiah adalah hubungan manusia dengan alam sekitar, yang meliputi hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam dengan segala isinya. Seluruh alam semesta dengan segala isinya diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia juga memiliki kewajiban untuk melestarikan alam dan kekayaan yang ada di dalamnya. Alam juga mengalami penyusutan, sedangkan manusia semakin berkembang, dengan demikian kebutuhannya juga bertambah. Memelihara kelestarian alam juga merupakan kewajiban manusia, sebab alam sudah menyumbangkan banyak hal untuk kelangsungan hidup manusia.
            Hubungan manusia dengan alam harus seimbang antara kewajiban dan hak, sama seperti hubungan manusia dengan masyarakat dan  manusia dengan Tuhan. Pancasila adalah suatu pandangan hidup atau ideologi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat atau bangsanya, dan manusia dengan alam lingkungannya.
           Alasan mendasar Pancasila sebagai pandangan hidup atau ideologi bangsa adalah sebagai berikut:
1)      Mengakui adanya kekuatan ghaib yang ada di luar diri manusia sebagi pencipta serta pengatur dan penguasa alam semesta.
2)      Mengatur keseimbangan dalam hubungan, keserasian-keserasian dan pengendalian diri. Artinya relasi yang baik dan seimbang antara ketiganya (manusia dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam semesta) akan menciptakan hidup bahagia dan semuanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
3)      Dalam mengatur hubungan, peranan dan kedudukan bangsa sangat penting. Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa merupakan nilai sentral. Sebuah negara yang tidak bisa bersatu akan sulit menciptakan hidup harmonis. Negara harus bisa memegang kendali dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
4)      Rasa kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan serta musyawarah untuk mufakat dijadikan sebagai sendi dalam kehidupan bersama.
5)      Kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bersama.
      Isi pemikiran Filsafat Pancasila sebagai suatu pemikiran filsafat tentang negara bahwa Pancasila memberikan jawaban yang mendasar dan menyeluruh atas masalah-masalah asasi filsafat tentang negara yang berpusat pada lima masalah sosial.






















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan Negara atau dengan kata lain pancasila merupakan suatu dasar untuk  mengatur penyelenggaraan Negara. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, pancasila merupakan kaidah hukum Negara yang secara konstitusional mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah serta pemerintah Negara.
Oleh karena itu pancasila ditetapkan sebagai dasar filsafat Negara Indonesia sebagai landasan. Pancasila sebagai filsafat Negara Indonesia yaitu hasil pemikiran mendalam dari bangsa Indonesia, yang dianggap, diyakini sebagai kenyataan nilai dan norma yang paling benar, dan adil untuk melakukan kegiatan hidup berbangsa dan bernegara di manapun mereka berada. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa indonesia, yang membedakan dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.

B.  Saran
Warga negara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau mempercayai, menghormati, menghargai, menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman bahwa filsafat Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
[1]Syamsudin, M., dkk. 2009. Pendidikan Pancasila; Menempatkan Pancasila dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan. Yogyakarta: Total Media.
[2] https://arvyndilawijaya.wordpress.com/2013/03/24/pancasila-sebagai-filsafat/  (diakses tanggal 24 Oktober 2012 Pukul 17.08)
[3] http://ratni_itp.staff.ipb.ac.id/2012/06/11/pancasila-sebagai-filsafat/  (diakses tanggal 24 Oktober 2012 Pukul 17.10)
[4] http://mikhaelihem.blogspot.co.id/2012/03/pengertian-pancasila-secara-filsafat.html  (diakses tanggal 23 Oktober 2012 Pukul 17.10)
[5]http://arynatalina.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/11723/Pancasila+Sebagai+Sistem+Filsafat.ppt  (diunduh tanggal 24 Oktober 2012 Pukul 18.50)
[6]http://choirul_umam.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/42621/bab2-pancasila_sebagai_sistem_filsafat.pdf  (diunduh tanggal 24 Oktober 2012 Pukul 16.57)

[7]http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196604251992032-ELLY_MALIHAH/Silabi,_SAp,_Bahan_Kuliah_PKN,_Elly_Malihah/BAB_2.pdf  (diunduh tanggal 24 Oktober 2012 Pukul 17.00)

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Pancasila Sebagai Dasar Negara

A.     Hubungan Pancasila dengan pembukaan UUD RI tahun 1945.
Landasan historis Pancasila sebagai dasar negara terkait dengan nilai-nilai kultur bangsa Indonesia yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Secara historis, dapat pula dinyatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa (the founding father) ini dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka. Adalah dr. Radjiman Widiodiningrat selaku ketua BPUPKI yang menanyakan kepada peserta sidang I BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 dengan kalimat “Indonesia merdeka yang akan kita bentuk apa dasarnya?” Menanggapi pernyataan ketua tersebut, beberapa anggota BPUPKI berpidato menyatakan hal-hal tentang apa dasar dari Negara Indonesia merdeka di kelak kemudian hari.
Moh. Yamin pada pidato tanggal 29 Mei 1945 menyatakan “…ialah suatu kewajiban yang sangat teristimewa. Kewajiban untuk ikut menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar dan susunan Negara yang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan, yang telah diakui dan dibela rakyat Indonesia dengan kurban dan darah daging sejak berates-ratus tahun,…”(Risalah sidang BPUPKI & PPKI, Setneg, 1998)
Prof. Mr. Soepomo pada pidato tanggal 31 Mei 1945 menyatakan “Paduka Tuan Ketua, hadirin yang terhormat! Soal yang kita bicarakan ialah bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia merdeka.” (Risalah sidang BPUPKI & PPKI, Setneg, 1998)
R.P. Soeroso pada waktu memberi peringatan kepada Mr. Muhammad Yamin dalam pidato tanggal 29 Mei 1945, antara lain mengatakan: “Sebagai diterangkan oleh tuan Ketua, tuan Radjiman tadi yang dibicarakan ialah dasar-dasar Indonesia Merdeka…” (Risalah sidang BPUPKI & PPKI, Setneg, 1998)
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pendiri Negara hendak mencari hal-hal atau bahan-bahan yang akan menjadi dasarnya Negara Indonesia merdeka. Dalam perkembangan selanjutnya bahan atau hal-hal tersebut dirumuskan menjadi 5 (lima) dasar dan disepakati sebagai dasar Negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Landasan Yuridis Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,  “…..maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdaar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi selutuh rakyat Indonesia”
Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD 1945, maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi yuridis, yaitu bahwa seluruh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Praturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan Pancasila. Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila.
Berdasarkan penjelasan diatas hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat dipahami sebagai hubungan yang bersifat formal dan hubungan yang bersifat material.
1.      Hubungan yang bersifat formal, menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD alinea keempat yang mengandung pengertian bahwa “tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religus dan asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila”
            Pembukaan UUD 1945 merupakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental sehingga dalam tata tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam kedudukan, yaitu :
1.      Sebagai Dasarnya, karena Pembukaan itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia;
2.      Memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi.
            Akibat hukum dari kedudukan Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.
            Pembukaan UUD yang berintikan Pancasila merupakan sumber bagi Batang Tubuh UUD 1945. Hal ini disebabkan karena kedudukan hukum Pembukaan UUD berbeda dengan pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945, yaitu Pembukaan UUD 1945 selain sebagai Mukaddimah, Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan atau eksistensi sendiri.
2.      Hubungan yang bersifat material, menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan dari Pancasila. Karena isi kandungan material Pembukaan UUD 1945 itulah maka Pembukaan UUD 1945 disebut sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, sebagaimana yang dinyatakan oleh Notonagoro, esensi atau intisari Pokok Kaidah Negara yang Fundamental secara material adalah Pancasila.
            Menurut pandangan Kaelan (2000; 92), jika ditinjau kembali proses perumusan Pancasila dan Pembukaan, maka secara kronologis materi yang pertama-tama di bahas oleh BPUPKI adalah Dasar Filsafat Pancasila, baru kemudian Pembukaan. Setelah sidang pertama BPUPKI membicarakan Dasar Filsafat Negara Pancasila selesai, berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama Pembukaan UUD 1945.
            Dalam tertib hukum Indonesia diadakan pembagian yang hirarkis. UUD bukanlah peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya masih ada dasar pokok bagi UUD, yaitu Pembukaan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental yang didalamnya termuat Pancasila. Walaupun UUD merupakan hukum dasar Negara Indonesia yang tertulis, namun kedudukannnya bukanlah sebagai landasan hukum yang terpokok.
            Menurut teori dan keadaan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental dapat ;
1.      Tertulis, Pokok Kaidah yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu sebagai hukum positif, dengan kekuasaan yang ada dapat diubah walaupun sebenarnya tidak sah. Pokok Kaidah yang tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu memiliki formulasi yang tegas dan sebagai hukum positif mempunyai sifat imperative yang dapat dipaksakan.
      Pokok Kaidah yang tertulis bagi negara Indonesia pada saat ini ialah Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah, karena menurut Bakry, fakta sejarah yang terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan UUD 1945 dapat juga tidak digunakan sebagai Pokok Kaidah tertulis yang dapat diubah oleh kekuasaan yang ada, sebagaimana perubahan ketatanegaraan yang pernah terjadi saat berlakunya Mukadimah UUDS 1950.
2.      Tidak Tertulis, Pokok Kaidah yang tidak tertulis memiliki kelemahan, yaitu karena tidak tertulis maka formulasinya tidak tertentu dan tidak jelas sehingga mudah tidak diketahui atau tidak diiingat. Pokok Kaidah tidak tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu tidak dapat diubah atau dihilangkan oleh kekuasaan karena bersifat imperative moral dan terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia.

B.     Penjabaran Pancasila dalam pasal – pasal UUD 1945.
      Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan, cita-cita dan hukum  dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Pokok-pokok pikiran tersebut mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia karena bersumber dar pandangan hidup dan dasar negara, yaitu Pancasila. Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila itulah yang dijabarkan ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD 1945. Hubungan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila dalam batang tubuh UUD 1945 bersifat kausal dan organis.
1.      Hubungan Kausal, mengandung pengertian Pembukaan UUD 1945 merupakan penyebab keberadaan batang tubuh UUD 1945.
2.      Hubungan Organis, berarti Pembukaan dan batang tubuh UUD tahun 1945 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
      Dengan dijabarkannya popok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang bersumber dari Pancasila ke dalam batang tubuh, maka Pancasila bukan hanya suatu cita-cita hukum, tetapi telah menjadi hukum positif.
      Sesuai dengan penjelasan UUD 1945, pembukaan mengandung 4 pokok pikiran yang diciptakan dan dijelaskan dalam batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pokok pikiran pertama berintikan “Persatuan”, yaitu “negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
[Pasal 35 (Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih), Pasal 36 (Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia), Pasal 36A (Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika) dan Pasal 36B (Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya) menjadi pemersatu bangsa.]
2.      Pokok pikiran kedua berintikan “Keadilan sosial”, yaitu “negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”
Pasal 27 ayat 2, (Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.)
3.      Pokok pikiran ketiga berintikan “Kedaulatan Rakyat”, yaitu “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”
Pasal 1 ayat 2, (Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.)
4.      Pokok pikiran keempat berintikan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yaitu “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adali dan beradab”.
Pasal 29 ayat 1, (Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.)
      Pokok pikiran pertama menegaskan bahwa aliran pengertian negara persatuan diterima dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu negara yang melindungi bangsa Indonesia seluruhnya. Negara, menurut pokok pikiran pertama ini, mengatasi paham golongan dan segala paham perorangan. Demikian pentingnya pokok pikiran ini maka persatuan merupakan dasar negara yang utama. Oleh karena itu, penyelenggara negara dan setiap warga negara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau perorangan.
      Pokok pikiran kedua merupakan kausa finalis dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan suatu tujuan atau suatu cita-cita yang hendak dicapai. Melalui pokok pikiran ini, dapat ditentukan jalan dan aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam UUD sehingga tujuan atau cita-cita dapat dicapai dengan berdasar kepada pokok pikiran pertama, yaitu persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pokok pikiran keadilan sosial merupakan tujuan negara yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
      Pokok pikiran ketiga mengandung konsekuensi logis yang menunjukkan bahwa sistem negara yang terbentuk ke dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan. Menurut Bakry, aliran sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Kedaulatan rakyat dalam pokok pikiran ini merupakan sistem negara yang menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
      Pokok pikiran keempat menuntut konsekuensi logis, yaitu UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur dan budi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 merupakan asas moral bangsa dan negara .
      MPR RI telah melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali secara berturut-turut terjadi pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2001. Menurut Rindjin, keseluruhan batang tubuh UUD 1945 yang telah mengalami amandemen dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
1.      Pasal-pasal yang terkait aturan pemerintahan negara dan kelembagaan negara;
2.      Pasal-pasal yang mengatur hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial;
3.      Pasal-pasal yang berisi materi lain berupa aturan mengenai bendera negara, bahasa negara, lambang negara, lagu kebangsaan, perubahan UUD, aturan peralihan, dan aturan tambahan.
Beberapa contoh penjabaran Pancasila ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI tahun 1945
Sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara
a.      Pasal 1 ayat (3) : Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
b.      Pasal 3
ayat (1)  : MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD
ayat (2)  : MPR melantik Prisiden dan / atau Wakil Presiden
ayat (3) : MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
Hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
a.      Pasal 26 ayat (2) : Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
b.      Pasal 27 ayat (3) : Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
c.       Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
d.      Pasal 31 ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
e.       Pasal 33 ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
f.        Pasal 34 ayat (2) : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Materi lain berupa aturan bendera negara, bahasa negara, lambing negara, dan lagu kebangsaan.
a.      Pasal 35     : Bendera Negara Indonesia adalah Sang Merah Putih.
b.      Pasal 36     : Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
c.       Pasal 36A  : Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
d.      Pasal 36B  : Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
C.     Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan hankam.
      Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan pancaran dari Pancasila. Empat pokok pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup empat aspek kehidupan bernegara, yaitu: politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi POLEKSOSBUD HANKAM.
1.      Aspek Kebijakan dalam Bidang Politik
a.      Pasal 26, mengatur tentang siapa saja yang menjadi warga negara (implementasi sila ke 2)
(1)   Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2)   Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3)   Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
b.      Pasal 27 ayat 1, tentang persamaan hak dan kewajiban (egaliter) (implementasi sila ke 2)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
c.       Pasal 28, mengatur hak untuk berserikat,berkumpul dan menyatakan pendapat (sila ke 4)
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
            Pasal-pasal tersebut adalah penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Kedaulatan Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang masing-masing merupakan pancaran dari sila ke-4 dan ke-2 pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi kehidupan nasional bidang politik di Negara Republik Indonesia. Berdasarkan penjabaran kedua pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik harus berdasar pada manusia yang merupakan subyek pendukung pancasila, sebagaimana dikatakan oleh Noto Nagoro bahwa yang berketuhanan, berkemanusiaan,berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan adalah manusia.    Manusia adalah subyek negara dan oleh karena itu politik negara harus berdasar dan merealisasikan harkat dan martabat manusia di dalamnya. Hal ini dimaksudkan agar sistem politik negara dapat menjamin hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik di Indonesia harus memperhatikan rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Selain itu, sistem politik yang dikembangkan adalah sistem yang memperhatikan pancasila sebagai dasar-dasar moral politik.
2.      Aspek Kebijakan dalam Bidang Ekonomi
a.      Pasal 27 ayat 2, berbicara tentang kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. (implementasi sila ke 5)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b.      Pasal 33, ayat berbicara tentang sistem ekonomi yang dikelola untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. (implementasi sila ke 4)
c.       Pasal 34,
(1)   Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(3)  Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
      Pasal-pasal tersebut adalah penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial yang masing-masing merupakan pancaran dari sila ke 4 dan sila ke-5 pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan sistem ekonomi pancasila dan kehidupan ekonomi nasional. Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang ekonomi di indonesia dimaksudkan untuk menciptakan sistem perekonomian yang bertumpu pada kepentingan rakyat dan berkeadilan. Salah satu pemikiran yang sesuai dengan maksud ini adalah gagasan ekonomi kerakyatan yang dilontarkan oleh Mubyarto, yaitu pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan, melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Dengan kata lain, pengembangan ekonomi tidak bisa di pisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.
3.      Aspek Kebijakan dalam Bidang Sosial Budaya
a.      Pasal 29 ayat 1 dan 2, berbicara tentang pengakuan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta kebebasan bagi warga negara dalam meyakini tiap agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan. (implementasi sila ke 1)
b.      Pasal 31 ayat 1, menetapkan bahwa tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. (implementasi sila ke 2)
c.       Pasal 32 ayat 1, negara menjamin dan menjaga nilai-nilai budaya dan bahasa sebagai kekayaaan budaya nasional. (implementasi sila ke 3)
            Pasal-pasal tersebut adalah penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan yang massing-masing merupakan pancaran dari sila pertama, kedua, dan ke-tiga pancasila. Ketiga pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan bidang kehidupan keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan nasional.
            Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka implementasi pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang sosial budaya mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat indonesia harus diwujudkan dalam proses pembangunan masyarakat dan kebudayaan di indonesia. Dengan demikian, pancasila sebagai sumber nilai dapat menjadi arah bagi kebijakan negara dalam mengembangkan kehidupan sosial budaya indonesia yang beradab, sesuai dengan sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengembangan sosial budaya harus dilakukan dengan mengangkat nilai-nilaiyang dimliki bangsa indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi Pancasila sebagai sebuah sistem etika yang keseluruhan nilainya bersumber dari harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab.
4.      Aspek Kebijakan dalam Bidang Pertahanan Keamanan
a.      Pasal 27 ayat 3,
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
b.      Pasal 30 ayat 1,
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
                Pasal-pasal tersebut merupakan penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Persatuan yang merupakan pancaran dari sila pertama pancasila. Pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan bidang pertahanan dan keamanan nasional. Berdasarkan penjabaran diatas, maka implementasi pancasila dalam pembuatan kebijakan negara pada bidang pertahanan dan keamanan harus diawali dengan kesadaran bahwa indonesia adalah negara hukum.

            Pertahanan dan keamanan negara di atur dan dikembangkan menurut dasar kemanusiaan, bukan kekuasaan dengan kata lain, pertahanan dan keamanan indonesia berbasis pada moralitas keamanan sehingga kebijakan yang terkait dengannya harus terhindar dari pelanggaran hak-hak asasi manusia. Secara sistematis, pertahanan keamanan negara harus berdasar pada tujuan tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama dan kedua), berdasar pada tujuan untuk mewujudkan kepentingan seluruh warga sebagai warga negara (sila ke tiga), harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (sila keempat), dan ditujukan untuk mewujudkan keadilan dalam hidup masyarakat (sila kelima). Semua ini dimaksudkan agar pertahanan dan keamanan dapat ditempatkan dalam konteks negara hukum, yang menghindari kesewenang-wenangan negara dalam melindungi dan membela wilayah negara dengan bangsa, serta dalam mengayomi masyarakat.