FILSAFAT ILMU
ONTOLOGI : HAKIKAT
APA YANG DIKAJI
Disusun Oleh :
1. Dea Tita Hastika (20158300219)
2. Debi Paradita (20158300210)
3. Indah (20138300315)
4. Ines Novika Santia (20158300215)
5. Intan Septiana (20158300100)
Dosen Pengampu
Andy Ahmad, M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP KUSUMA NEGARA JAKARTA
2016
Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji
A.
Pengertian
Ontologi
Sebagai
sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan
sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya
mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu disiplin ilmu telah melahirkan
tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi),
teori pengetahuan (epistimologi), dan teori nilai (aksiologi).
Pembahasan
tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai
esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being,
dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being
(teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Sedangkan
Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu
pengkajian mengenai yang “ada”.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa:
·
Menurut bahasa, ontologi berasal
dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu
tentang hakikat yang ada.
·
Menurut istilah, ontologi adalah
ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yg asas,
baik yang berbentuk jasmani / konkret, maupun rohani / abstrak.
B.
Metafisika
Bidang
telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Pemikiran diibaratkan roket
yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi, maka metafisika adalah
landasan peluncurannya.
Acuan
berfikir : apakah hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya?
Beberapa
tafsiran metafisika : Di alam ini terdapat ujud – ujud yang bersifat gaib
(supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa bila
dibandingkan dengan alam yang ada. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan
manusia mengenai alam ini. Beberapa tafsiran mengenai metafisika yang
dipaparkan oleh Jujun (1995), sebagai berikut:
Tafsiran 1 :
·
Animisme merupakan kepercayaan
berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Supernaturalisme adalah manusia percaya
bahwa terdapat roh-roh gaib dalam benda tertentu.
·
Materialisme (Democritus) merupakan
kepercayaan berdasarkan pemikiran naturalisme. Naturalisme berpendapat bahwa
gejala-gejala alam yang terjadi disebabkan oleh kekuatan alam itu sendiri, yang
dapat dipelajari sehingga dapat kita ketahui kebenarannya.
Tafsiran 2 :
·
Mekanistik berpendapat gejala alam
merupakan gejala kimia-fisika semata.
·
Vitalistik berpendapat hidup adalah
sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan proses kimia-fisika.
Tafsiran 3 :
“Proses
berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat yang dipelajarinya”, dari
pernyataan tersebut muncul pertanyaan “Apakah hakikat kebenaran pikiran
tersebut?”.
·
Monistik (Christian Wolff) menyatakan
pada dasarnya pikiran dan zat itu sama, hanya berbeda pada gejala yang
ditimbulkan yang disebabkan oleh proses yang berlainan, tetapi keduanya
mempunyai substansi yang sama. Proses berpikir dianggap sebagai aktivitas
elektrokimia dari otak.
·
Dualistik (Thomas Hyde) berpendapat
bahwa zat dan pikiran berbeda secara substantif. Rene Descartes, John Locke,
dan George Berkeley menyatakan apa yang ditangkap oleh pikiran merupakan
penginderaan dari pengalaman manusia yang bersifat mental.
(1)
Descartes berpendapat pikiran itu
bersifat nyata sebab dengan berpikir sehingga sesuatu menjadi ada.
(2)
Locke berpendapat pikiran
diibaratkan organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera.
(3)
Berkeley menyatakan sesuatu itu ada
disebabkan adanya persepsi.
Pada
hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh
kaitannya, itu semua tergantung kita. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba
menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Pencapaian pengetahuan melalui
penjelajahan ilmiah akan menimbulkan masalah secara terus menerus.
Pada
dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda, boleh
menganut paham yang berbeda-beda. Titik temu para ilmuan mengenai hal ini
adalah sifat pragmatis dari ilmu.
C.
Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan semetara
(yang kebenarannya masih dibuktikan). timbulnya asumsi karena adanya
permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni
apakah gejala alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang
bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala
merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa
peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk
terjadi).
Determinisme
Paham determinisme dikembangkan oleh
William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Tomas Hubes (1588-1679) yang
menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh
zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme
yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah
ditetapkan lebih dahulu.
Pilihan bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam
menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan
alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Misalnya,
tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat
materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di
belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika
mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagaimana pula masyarakat brahmana di
India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak
ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
Probabilistik
Pada sifat probabilstik,
kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang.
Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik
menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik
dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam
perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri
sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh
manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang
dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia
maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan
pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Sifat asumsi :
Tidak muthlak atau pasti sebagaimana
ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan yang bersifat muthlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan
muthlak.
Kedudukan ilmu dalam asumsi :
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar
untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran
kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Resiko asumsi :
Apa yang diasumsikan akan mengandung
resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya akan berhasil
maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba-tiba
usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan
pestanya.
Kesimpulan :
(1) Sebuah asumsi aalah sebuah
ketidakpastian.
(2) Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan
ilmu pengetahuan.
(3) Timbulnya asumsi karena adanya sesuatu
kejadian / kenyataan.
D.
Peluang
Peluang secara sederhana diartikan
sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa
probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan
kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa
ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai
dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus
didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka
kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan
itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
E.
Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Beberapa asumsi dalam ilmu akan
terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata
ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai
kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis (pragmatis
adalah sesuatu yang mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya
ilmu fisika yakni ilmu yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu
lain. Fisika merupakan ilmu teoritis yang di bangun atas system penalaran
deduktif yang meyakinkan serta pembutktian induktif yang sangat mengesankan.
Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana
dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya (zat, gerak,
ruang dan waktu).
Beberapa perbedaan asumsi :
1. Newton dalam bukunya Philosipiae
Naturalis Principia Mathematika (1686) berasumsi bahwa keempat komponen
bersifat absolut. Zat bersifat absolut dengan demikian berbeda secara subtantif
dengan energi.
2. Einstein belaianan asumsi dengan
Newton di dalam bukunya : The Special Theory Of Relativity (1905)
berasumsi bahwa keempat komponen (zat, gerak, ruang dan waktu) bersifat
relatif. Tidak mungkin dapat mengukur gerak secara absolute.
3. Euclides (330-275 SM ) seorang
ahli matematika yunani di iskandariyah Mesir. Terkenal karena menulis buku-buku
tentang dasar ilmu ukur yang diuraikan berdasarkan aksioma-aksioma (kebenaran
yang tak perlu lagi diragukan lagi akan kebenarannya). Dalam masalah
tertentu akan cenderung dengan teori relativitas (Einstein).
Dalam
mengembangkan asumsi, maka harus memperhatikan beberapa hal berikut.
1. Asumsi ini
harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan.
Asumsi
ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi
manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis,
makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks.
Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi,
dan praktek administrasi.
2. Asumsi ini
harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan
yang seharusnya’.
Sekiranya
dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu
sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya
begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam
penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran
peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu
kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan
keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori
keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya
sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar
mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran
yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (terucap) dianggap belum
diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
F.
Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Fungsi ilmu dalam kehidupan manusia
adalah sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang
dihadapinya. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji
kebenarannya secara empiris. Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi
kapling-kapling disiplin keilmuan. Sempitnya daerah penjelajahan satu bidang
keilmuan maka sering diperlukan pandangan dari disiplin lain. Tanpa kejelasan
batas-batas ini maka pendekatan multi disipliner tidak akan bersifat
konstruktif.
Cabang-cabang ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu
tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian
menjadi rumpun ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam
cabang ilmu sosial. Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang
bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah
kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu
terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-massalah kehidupan yang
mempunyai manfaat praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996.
0 komentar:
Posting Komentar