TUGAS
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
“RELOKASI
WARGA LUAR BATANG DAN MANUSIA PERAHUNYA”
Disusun
Oleh :
Dea Tita Hastika
(20158300219)
Dosen Pengampu :
Rida Hartiasih, S.pd,M.pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP KUSUMA NEGARA
JAKARTA
2016
Habis Digusur Terbitlah Manusia Perahu di Luar Batang
Oleh Musni Umar
Lima hari setelah penggusuran Pasar Ikan Luar Batang Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara, Sabtu, 16 April 2016 pukul 04.00 wib, driver TV ONE
menjemput saya menjadi narasumber untuk membahas “Manusia Perahu”. Tiba
di lokasi sekitar pukul 04.40 WIB, saya langsung ke Masjid Keramat Luar Batang
yang amat terkenal itu untuk shalat Subuh berjamaah. Di dalam Masjid yang sudah
ramai jamaah, saya langsung shalat sunat dua rakaat, dilanjutkan shalat Subuh
berjamaah. Setelah shalat Subuh, saya keluar dan melihat di halaman Masjid di
pasang dua spanduk diantaranya bertuliskan “JANGAN USIR RAKYAT HANYA DEMI
KEPENTINGAN PENGEMBANG”. Di luar halaman Masjid, saya melihat mobil
Ambulance Front Pembela Islam (FPI) yang sedang parkir, kemudian saya bertemu
teman-teman wartawan TV ONE dan kami bersama-sama jalan kaki menuju lokasi
tempat “Manusia Perahu”.
Di sekitar perahu mereka, saya menyaksikan cukup banyak orang yang
tidur disembarang tempat di bekas gusuran Akuarium dan Pasar Ikan dengan
beralas triplex, papan bekas gusuran, kasur yang sudah kelihatan kotor, di
jembatan beton, ditenda seadanya, dan ibu-ibu serta anak-anak mereka
tidur di dalam perahu yang sempit dan sumpek. Di beberapa perahu, saya melihat
dipasang spanduk Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa orang yang berbaju dan
bercelana putih dari FPI. Selain itu, di rumah-rumah penduduk yang menghadap
laut, cukup banyak spanduk yang dipasang sebagai bentuk penolakan terhadap
penggusuran seperti bertuliskan “JANGAN PERLAKUKAN KAMI SEPERTI SAMPAH”.
“TNI ABDI NEGARA POLISI PENGAYOM BUKAN SEBALIKNYA”.
Manusia Perahu, Mereka yang digusur dari Pasar Ikan dan kampung
Akuarium Luar Batang Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, secara garis besar
terbagi dua bagian. Pertama, pindah di Rusun Marunda, Jakarta Utara, dan di
Rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur. Kedua, pindah di perahu bersama anak-anak,
isteri dan keluarga. Mereka yang memilih pindah di perahu dan kemudian disebut
manusia perahu, setidaknya ada lima alasan yang mendasari, mereka menolak
pindah di Rusun dan tinggal diperahu.
Pertama, Rusun di Marunda dan Rawa Bebek terlalu kecil, tidak mampu
menampung keluarga mereka yang tergolong besar. Ada yang satu rumah berjumlah
sampai dua belas orang bahkan lebih. Sebagai contoh menurut mereka, Rusun di
Rawa Bebek berukuran 3x7 m, mana mungkin bisa menampung mereka.
Kedua, Rusun Marunda di Jakarta Utara, dan Rusun Rawa Bebek di Jakarta
Timur, sangat jauh dari tempat mereka mencari nafkah yaitu di laut sebagai
nelayan, pelayar, dan kuli di pelabuhan Sunda Kelapa. Dari Marunda sebagai
contoh, untuk sampai di tempat mereka mencari nafkah memerlukan tiga kali ganti
kendaraan umum, dari mana mereka peroleh uang. Padahal kalau melaut, tidak
selamanya dapat rezeki, adakalanya untuk menutup biaya makan dan beli solar
tidak cukup.
Ketiga, keamanan perahu mereka. Kalau mereka pindah ke Rusun yang
disiapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, siapa yang jaga perahu, mesin
penggerak perahu, dan peralatan tangkap ikan mereka?
Keempat, merasa diperlakukan tidak adil. Mereka sudah turun-temurun
di kawasan Pasar Ikan, punya KTP, bayar PBB, punya rumah tempat tinggal secara
permanen, digusur tanpa ganti rugi apalagi ganti utung.
Kelima, mereka tidak ingin meninggalkan kawasan Pasar Ikan, tempat
mereka mencari nafkah, tempat mereka lahir dan besar dan secara turun-temurun
telah berada di kawasan itu. Mereka ingin kalau pemerintah mau menata kawasan
Pasar Ikan, mereka siap dipindahkan di Rusun yang dibangun didekat tempat
mereka mencari nafkah. Manusia perahu yang lahir dari kebijakan pemerintah
secara sepihak, dengan menggusur tempat tinggal mereka di kawasan Pasar Ikan,
betapapun tujuannya mulia dengan merelokasi mereka ke rumah susun, tetapi
mereka adalah subyek pembangunan, sehingga penting dan bahkan merupakan conditiio
sine quanon, kita mendengar apa mau rakyat. Apa yang baik bagi pemerintah,
belum tentu baik bagi rakyat, karena akhirnya yang menjalani adalah rakyat.
Maka dengarkanlah aspirasi, harapan dan jeritan rakyat. Pembangunan tidak
boleh lagi bersifat top down dengan menggunakan aparat untuk memaksa
rakyat mengikuti mau “sipenguasa”. Allahu a’lam bisshawab
Sumber : www.kompasiana.com/musniumar/habis-digusur-terbitlah-manusia-perahu-di-luar-batang_5711f16fd77a614907ea4d67+&cd=1&hl=en&ct=clnk
Sumber : www.kompasiana.com/musniumar/habis-digusur-terbitlah-manusia-perahu-di-luar-batang_5711f16fd77a614907ea4d67+&cd=1&hl=en&ct=clnk
Pembahasan
Kasus pemindahan warga Pasar Ikan Luar Batang, Penjaringan
ke Rusunawa Marunda dan Rawabebek langsung disambut debat pro- dan
kontra- yang terbilang sengit di media sosial. Debat semacam itu
sudah sewajarnya. Itu gejala sehat. Pertanda demokrasi masih hidup di
negeri ini. Namun, jika argumen yang diajukan sudah mengandung kesalahan
(fallacy) yang disengaja, maka itu bukan lagi debat yang
sehat. Tidak sehat karena kesalahan itu dimaksudkan menyesatkan
publik kepada simpulan tertentu.
Dua kesalahan yang terkandung dalam argumen-argumen debat itu adalah pengajuan dua fakta palsu yaitu “penggusuran” dan “manusia perahu”. Kelompok “kontra-“ khususnya telah membuat sebuah argumen keliru yaitu : (1) Pemda DKI melakukan “penggusuran” terhadap warga Luar Batang, Penjaringan, dan (2) penggusuran tersebut menyebabkan munculnya “manusia perahu” di perairan Pasar Ikan Luar Batang.
Dua kesalahan yang terkandung dalam argumen-argumen debat itu adalah pengajuan dua fakta palsu yaitu “penggusuran” dan “manusia perahu”. Kelompok “kontra-“ khususnya telah membuat sebuah argumen keliru yaitu : (1) Pemda DKI melakukan “penggusuran” terhadap warga Luar Batang, Penjaringan, dan (2) penggusuran tersebut menyebabkan munculnya “manusia perahu” di perairan Pasar Ikan Luar Batang.
Berseberangan dengan artikel tersebut, saya berpendapat bahwa tidak
adanya “penggusuran” dan “manusia perahu” di Luar Batang. Yang saya
maksud adalah bukan “Penggusuran” akan tetapi “Relokasi” . Apa yang telah
terjadi di Luar Batang bukanlah penggusuran melainkan relokasi warga oleh Pemda
DKI . Secara sosiologis jelas antara penggusuran dan relokasi merupakan dua
proses sosial yang berbeda. Penggusuran diartikan sebagai proses pemindahan
paksa warga dari suatu lokasi tanpa solusi penyediaan lokasi baru, tidak ada kompromi,
dan diharuskan pindah dari lokasi itu. Kemana pindahnya, itu terserah padawarga
dan bukan lagi urusan penggusur. Namun, relokasi adalah proses pemindahan warga
dari satu lokasi dengan solusi penyediaan lokasi baru, terdapat kompromi di
sini dan warga dipindahkan ke lokasi baru dengan memperoleh fasilitas dampingan
serta sarana dan prasarana sosial-ekonomi.
Pada kasus Luar Batang, Pemda DKI telah menyediakan lokasi baru
bagi warga yang terkena relokasi, yaitu ke Rusunawa Marunda, Jakarta Utara dan
Rusunawa Rawabebek, Jakarta Timur. Juga disediakan prasarana dan sarana
sosial-ekonomi tertentu. Karena itulah, jelas yang terjadi di Pasar Ikan
Luar Batang adalah suatu proses relokasi warga, bukan penggusuran warga.
Langkah relokasi itu dilaksanakan sebagai implementasi rencana penataan
ruang kota untuk mewujudkan Jakarta modern, sebagai representasi Indonesia
Hebat.
Lalu mengapa istilah penggusuran yang mencuat? Sebenarnya ini
istilah yang lazim digunakan oleh kalangan LSM atau oleh pihak mana saja yang
menganggap relokasi sebagai pelanggaran HAM atau yang menganggap relokasi
sebagai “akal-akalan pemerintah untuk alih-fungsi pemukiman warga menjadi
kawasan bisnis”.
Memang pada banyak kasus, semasa Orde Baru dan sesudahnya,
implementasi pemindahan warga kampung di DKI Jakarta memang bukan perwujudan
relokasi. Tapi perwujudan penggusuran untuk memfasilitasi
alih-fungsi ruang menjadi kawasan bisnis. Karena itu, setiap tindakan
pemindahan warga kampung di DKI Jakarta sampai kini selalu dikonotasikan penggusuran.
Konotasi penggusuran itu pertama-tama muncul dari warga yang dipindah.
Lalu diamplifikasi oleh aktivis LSM, Ormas, Parpol, dan pers melalui
media massa dan media sosial. Tujuannya membentuk persepsi publik tentang
penggusuran. Anehnya, aparat Pemda DKI sendiri ikut terseret pada
persepsi bahwa yang sedang terjadi adalah penggusuran. Sekalipun
dokumen resmi menyebutkan relokasi.
Hal semacam itu terjadi juga pada kasus Luar Batang. Bukan “Manusia
Perahu” akan tetapi “Kelompok Perlawanan”. Pada artikel diatas secara eksplisit
menyatakan bahwa tindakan “penggusuran” di Pasar Ikan Luar Batang telah
melahirkan “Manusia Perahu”. Inilah persepsi yang beredar luas di media
massa dan media sosial indonesia. Tapi apa benar begitu faktanya? Menurut
saya tidak, karena alasannya adalah pertama, tindakan “penggusuran” itu sendiri
memang tidak pernah ada. Saya sudah jelaskan bahwa yang sebenarnya
terjadi adalah “relokasi” warga bukan “penggusuran”.
Kedua, “Manusia Perahu” itu adalah istilah yang disematkan oleh
pengamat dan aktivis sosial dari luar warga Luar Batang kepada sekelompok warga
yang menolak relokasi dan memilih bertahan tinggal di atas perahu mereka.
Sejatinya mereka adalah “kelompok perlawanan” yang menolak pindah, jadi, mereka
yang disebut “Manusia Perahu” itu sama saja posisinya dengan, misalnya,
sekelompok warga yang menolak digusur atau direlokasi lalu bertahan tinggal
dalam tenda-tenda. Hanya saja, mereka tak disebut sebagai “Manusia
Tenda”.
Lalu bagaimana dengan hak mereka? Kembali kepada hak dan kewajiban
warga negara Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang pasal 27 ayat 2
yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.”. Jika pemda DKI tahu akan pasal tersebut, maka
sudah seharusnya mereka memperlakukan warga luar batang secara baik dengan
menganti tempat relokasi yang layak terhadap mereka serta dekat dengan tempat
tinggal mereka yang terkena relokasi. Sehingga mereka masih bisa mencari nafkah
untuk menghidupi keluarganya. Bagaimana mereka tidak mau pindah dari tempat
tersebut, itu dikarenakan rusun yang disediakan oleh Pemda DKI tidak layak
untuk dihuni ataupun berukuran kecil jika 1 keluarga berjumlah lebih dari 4 atau
5. Seharusnya pemda DKI harus lebih lama memikirkan bagaimana nasib warga-warga
yang terkena relokasi tersebut agar mereka mau untuk direlokasi tanpa harus
terdapat perlawan dari mereka sendiri.
Namun sebenarnya, dalam peristiwa ini tidak hanya pemda DKI saja
yang disalahkan, karena warga Luar Batang pula dapat bersalah. Apa alasannya?
Apakah warga Luar Batang telah menjalankan kewajibannya sebagai warga negara
yang baik? Yang memelihara lingkungan tempat tinggal dari sampah atau menjaga
kesehatan dilingkungan tersebut. Lalu bagaimana dengan tempat tinggal yang
mereka tempati sekarang ini? Apakah itu semua adalah tanah yang secara hukum
milik mereka?
Sebagai warga negara yang baik, mereka harus berkaca pada tempat
tinggal yang mereka tempati itu adalah milik mereka resmi atau bukan. Jika
bukan, mereka harus menerima apabila terjadi relokasi oleh pemda setempat.
Namun, apabila tempat itu merupakan hak milik mereka secara resmi maka
seharusnya pemerintah menjalankan kewajibannya untuk mengganti apa yang telah
menjadi hak warga Luar Batang.
Setidaknya ada tiga butir kritik yang perlu menjadi perhatian Pemda
DKI. Pertama, relokasi Pasar Ikan Luar Batang itu tidak direncanakan secara
matang. Jelas perencanaannya tidak bersifat partisipatif karena terbukti
dari munculnya kelompok perlawanan yang bertahan di perahu-perahu mereka, juga
terindikasi dari ketidaksiapan Pemda DKI menampung bekas warga Luar Batang di
Rusunawa Marunda dan Rawabebek.
Kedua,
relokasi warga Luar Batang tidak didasarkan pada pemahaman yang lengkap tentang
struktur dan kultur kelompok warga tersebut. Terbukti lokasi baru, Rusunawa
Marunda dan Rawabebek, tidak kompatibel dengan struktur dan kultur ekonomi
nelayan yang ditekuni oleh warga Luar Batang. Ketiga, kegiatan relokasi warga
Luar Batang tersebut tidak dirancang sebagai program transformasi
sosial-ekonomi untuk peningkatan taraf ekonomi warga miskin. Terindikasi
relokasi tersebut bukan suatu mobilitas sosial vertikal, melainkan hanya
mobilitas sosial horizontal. Kondisi lama dan baru sama saja.
Kelebihan
Didalam
artikel ini pembahasan dan topiknya sangat menarik karena artikel ini membahas
permasalahan yang tengah marak terjadi di masyarakat Jakarta, yaitu
pengrelokasian warga-warga Jakarta untuk pindah ke Rusunawa yang sudah
disiapkan oleh Pemprov DKI. Disini juga dibahas tentang alasan mengapa para
warga Luar Batang yang tidak mau di relokasi dan lebih memilih untuk tinggal di
perahu mereka sehingga memunculkan istilah baru yaitu manusia perahu.
Kekurangan
Didalam
artikel ini penulis tidak memaparkan tentang relokasi yang sebenarnya dilakukan
oleh Pemprov DKI, bukanlah penggusuran.
Kesimpulan
Pada
kesimpulannya, peristiwa yang terjadi pada warga Luar Batang adalah relokasi
warga setempat untuk dipindahkan ke tempat baru atau rusunawa yang sudah
disediakan oleh Pemda DKI. Pengrelokasian ini sebenarnya cukup bagus, karena
mengingat Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia, maka haruslah ditertibkan
warga-warganya yang masih tinggal di daerah yang akan menjadi pembangunan di
Jakarta. Namun terlepas dari itu, pemda DKI harus pula mengutamakan hak-hak
dari warga Luar Batang untuk memberikan tempat tinggal baru yang layak dihuni
bukan semata-mata hanya menyediakan tempat baru saja namun juga memikirkan
bagaimana nasib mereka ketika mereka di relokasikan ke tempat yang bukan
lingkungan asli dari mereka, karena mereka yang tinggal di Luar Batang rata-rata
merupakan nelayan maka haruslah merelokasikan ke tempat yang sama dengan
lingkungan yang biasa mereka tinggali. Dan sebagai warga negara yang baik,
mereka juga harus menaati peraturan yang pemerintah telah buat agar
terlaksananya kehidupan yang lebih baik dan terjaga kedepannya. Sehingga mereka
ataupun kita sebagai warga negara bisa membantu perkembangan negara Indonesia
untuk menjadi negara berkembang bahkan negara maju, serta tidak melupakan hak
dan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar