Pancasila Sebagai Dasar Negara
A.
Hubungan Pancasila dengan pembukaan UUD RI tahun 1945.
Landasan historis Pancasila sebagai dasar negara terkait
dengan nilai-nilai kultur bangsa Indonesia yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia. Secara historis, dapat pula dinyatakan bahwa
Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa (the founding father) ini
dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka. Adalah dr. Radjiman
Widiodiningrat selaku ketua BPUPKI yang menanyakan kepada peserta sidang I
BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 dengan kalimat “Indonesia merdeka yang akan kita
bentuk apa dasarnya?” Menanggapi pernyataan ketua tersebut, beberapa anggota
BPUPKI berpidato menyatakan hal-hal tentang apa dasar dari Negara Indonesia
merdeka di kelak kemudian hari.
Moh. Yamin pada pidato tanggal 29 Mei 1945 menyatakan “…ialah suatu
kewajiban yang sangat teristimewa. Kewajiban untuk ikut menyelidiki bahan-bahan
yang akan menjadi dasar dan susunan Negara yang akan terbentuk dalam suasana
kemerdekaan, yang telah diakui dan dibela rakyat Indonesia dengan kurban dan
darah daging sejak berates-ratus tahun,…”(Risalah sidang BPUPKI & PPKI,
Setneg, 1998)
Prof. Mr. Soepomo pada pidato tanggal 31 Mei 1945 menyatakan
“Paduka Tuan Ketua, hadirin yang terhormat! Soal yang kita bicarakan ialah
bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia merdeka.” (Risalah sidang
BPUPKI & PPKI, Setneg, 1998)
R.P. Soeroso pada waktu memberi peringatan kepada Mr. Muhammad
Yamin dalam pidato tanggal 29 Mei 1945, antara lain mengatakan: “Sebagai
diterangkan oleh tuan Ketua, tuan Radjiman tadi yang dibicarakan ialah
dasar-dasar Indonesia Merdeka…” (Risalah sidang BPUPKI & PPKI, Setneg,
1998)
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pendiri
Negara hendak mencari hal-hal atau bahan-bahan yang akan menjadi dasarnya
Negara Indonesia merdeka. Dalam perkembangan selanjutnya bahan atau hal-hal
tersebut dirumuskan menjadi 5 (lima) dasar dan disepakati sebagai dasar Negara
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945.
Landasan Yuridis Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum
dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, “…..maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdaar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
selutuh rakyat Indonesia”
Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD
1945, maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah sumber
dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia,
sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi yuridis, yaitu bahwa seluruh
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Praturan-peraturan Pelaksanaan
lainnya yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus
sejiwa dan sejalan dengan Pancasila. Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan
Perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila.
Berdasarkan penjelasan diatas hubungan Pancasila dengan
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat dipahami sebagai hubungan yang
bersifat formal dan hubungan yang bersifat material.
1. Hubungan yang bersifat formal, menunjuk pada
tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD alinea keempat yang
mengandung pengertian bahwa “tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang
pada asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan
keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural,
religus dan asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila”
Pembukaan UUD 1945 merupakan Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental sehingga dalam tata tertib hukum Indonesia
mempunyai dua macam kedudukan, yaitu :
1.
Sebagai Dasarnya, karena Pembukaan
itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia;
2.
Memasukkan dirinya di dalam tertib
hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi.
Akibat hukum dari kedudukan
Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar hukum
tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada
kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.
Pembukaan UUD yang berintikan
Pancasila merupakan sumber bagi Batang Tubuh UUD 1945. Hal ini disebabkan
karena kedudukan hukum Pembukaan UUD berbeda dengan pasal-pasal atau Batang
Tubuh UUD 1945, yaitu Pembukaan UUD 1945 selain sebagai Mukaddimah, Pembukaan
UUD 1945 mempunyai kedudukan atau eksistensi sendiri.
2. Hubungan yang bersifat material, menunjuk pada
materi pokok atau isi Pembukaan dari Pancasila. Karena isi kandungan material
Pembukaan UUD 1945 itulah maka Pembukaan UUD 1945 disebut sebagai Pokok Kaidah
Negara yang Fundamental, sebagaimana yang dinyatakan oleh Notonagoro, esensi
atau intisari Pokok Kaidah Negara yang Fundamental secara material adalah
Pancasila.
Menurut pandangan Kaelan (2000; 92),
jika ditinjau kembali proses perumusan Pancasila dan Pembukaan, maka secara
kronologis materi yang pertama-tama di bahas oleh BPUPKI adalah Dasar Filsafat
Pancasila, baru kemudian Pembukaan. Setelah sidang pertama BPUPKI membicarakan
Dasar Filsafat Negara Pancasila selesai, berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta
yang disusun oleh Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama Pembukaan UUD
1945.
Dalam tertib hukum Indonesia
diadakan pembagian yang hirarkis. UUD bukanlah peraturan hukum yang tertinggi.
Di atasnya masih ada dasar pokok bagi UUD, yaitu Pembukaan sebagai Pokok Kaidah
Negara yang Fundamental yang didalamnya termuat Pancasila. Walaupun UUD
merupakan hukum dasar Negara Indonesia yang tertulis, namun kedudukannnya
bukanlah sebagai landasan hukum yang terpokok.
Menurut teori dan keadaan Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental dapat ;
1.
Tertulis, Pokok Kaidah
yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu sebagai hukum positif, dengan
kekuasaan yang ada dapat diubah walaupun sebenarnya tidak sah. Pokok Kaidah
yang tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu memiliki formulasi yang
tegas dan sebagai hukum positif mempunyai sifat imperative yang dapat
dipaksakan.
Pokok Kaidah yang
tertulis bagi negara Indonesia pada saat ini ialah Pembukaan UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah, karena menurut Bakry, fakta sejarah yang
terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan UUD 1945 dapat juga tidak
digunakan sebagai Pokok Kaidah tertulis yang dapat diubah oleh kekuasaan yang
ada, sebagaimana perubahan ketatanegaraan yang pernah terjadi saat berlakunya
Mukadimah UUDS 1950.
2.
Tidak Tertulis,
Pokok
Kaidah yang tidak tertulis memiliki kelemahan, yaitu karena tidak
tertulis maka formulasinya tidak tertentu dan tidak jelas sehingga mudah tidak
diketahui atau tidak diiingat. Pokok Kaidah tidak tertulis juga memiliki kekuatan,
yaitu tidak dapat diubah atau dihilangkan oleh kekuasaan karena bersifat
imperative moral dan terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia.
B.
Penjabaran Pancasila dalam pasal – pasal UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945
mengandung pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan, cita-cita dan
hukum dan cita-cita moral bangsa
Indonesia. Pokok-pokok pikiran tersebut mengandung nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh bangsa Indonesia karena bersumber dar pandangan hidup dan dasar
negara, yaitu Pancasila. Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila
itulah yang dijabarkan ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD 1945. Hubungan
Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila dalam batang tubuh UUD 1945 bersifat
kausal dan organis.
1. Hubungan Kausal, mengandung pengertian Pembukaan UUD 1945 merupakan penyebab
keberadaan batang tubuh UUD 1945.
2. Hubungan Organis, berarti Pembukaan dan batang tubuh UUD tahun 1945 merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dengan dijabarkannya
popok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang bersumber dari Pancasila ke dalam
batang tubuh, maka Pancasila bukan hanya suatu cita-cita hukum, tetapi telah
menjadi hukum positif.
Sesuai dengan penjelasan
UUD 1945, pembukaan mengandung 4 pokok pikiran yang diciptakan dan dijelaskan
dalam batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pokok pikiran pertama berintikan “Persatuan”,
yaitu “negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”
[Pasal 35 (Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih), Pasal 36 (Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia), Pasal 36A (Lambang Negara
ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika) dan Pasal 36B (Lagu Kebangsaan
ialah Indonesia Raya) menjadi
pemersatu bangsa.]
2.
Pokok pikiran kedua berintikan “Keadilan
sosial”, yaitu “negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat”
Pasal 27 ayat 2, (Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.)
3.
Pokok pikiran ketiga berintikan “Kedaulatan
Rakyat”, yaitu “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”
Pasal 1 ayat 2, (Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.)
4.
Pokok pikiran keempat berintikan “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, yaitu “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adali dan beradab”.
Pasal 29 ayat 1, (Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.)
Pokok pikiran pertama
menegaskan bahwa aliran pengertian negara persatuan diterima dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu negara yang melindungi bangsa Indonesia seluruhnya. Negara,
menurut pokok pikiran pertama ini, mengatasi paham golongan dan segala paham
perorangan. Demikian pentingnya pokok pikiran ini maka persatuan merupakan
dasar negara yang utama. Oleh karena itu, penyelenggara negara dan setiap warga
negara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau
perorangan.
Pokok pikiran kedua
merupakan kausa finalis dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan suatu tujuan
atau suatu cita-cita yang hendak dicapai. Melalui pokok pikiran ini, dapat
ditentukan jalan dan aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam UUD sehingga
tujuan atau cita-cita dapat dicapai dengan berdasar kepada pokok pikiran
pertama, yaitu persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pokok pikiran keadilan
sosial merupakan tujuan negara yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia
Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pokok pikiran ketiga
mengandung konsekuensi logis yang menunjukkan bahwa sistem negara yang
terbentuk ke dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan
permusyawaratan perwakilan. Menurut Bakry, aliran sesuai dengan sifat
masyarakat Indonesia. Kedaulatan rakyat dalam pokok pikiran ini merupakan
sistem negara yang menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pokok pikiran keempat
menuntut konsekuensi logis, yaitu UUD harus mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian taqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan
beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang
luhur dan budi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran keempat Pembukaan
UUD 1945 merupakan asas moral bangsa dan negara .
MPR RI telah melakukan
amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali secara berturut-turut terjadi pada 19
Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2001. Menurut
Rindjin, keseluruhan batang tubuh UUD 1945 yang telah mengalami amandemen dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
1.
Pasal-pasal yang terkait aturan
pemerintahan negara dan kelembagaan negara;
2.
Pasal-pasal yang mengatur hubungan
antara negara dan penduduknya yang meliputi warga negara, agama, pertahanan
negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial;
3.
Pasal-pasal yang berisi materi lain
berupa aturan mengenai bendera negara, bahasa negara, lambang negara, lagu
kebangsaan, perubahan UUD, aturan peralihan, dan aturan tambahan.
Beberapa contoh penjabaran Pancasila ke dalam
batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI tahun 1945
Sistem
pemerintahan negara dan kelembagaan negara
a. Pasal 1 ayat (3) : Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum
yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
b. Pasal 3
ayat (1) : MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD
ayat (2) : MPR melantik Prisiden dan / atau Wakil
Presiden
ayat (3) : MPR
hanya dapat memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD
Hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi
warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
a.
Pasal 26 ayat
(2) : Penduduk
ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
b.
Pasal 27 ayat
(3) : Setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
c.
Pasal 29 ayat
(2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu
d.
Pasal 31 ayat
(2) : Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
e.
Pasal 33 ayat
(1) : Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
f.
Pasal 34 ayat
(2) : Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Materi lain berupa aturan bendera negara, bahasa negara, lambing negara, dan
lagu kebangsaan.
a.
Pasal 35 : Bendera Negara Indonesia adalah Sang
Merah Putih.
b.
Pasal 36 : Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
c.
Pasal 36A : Lambang negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
d.
Pasal 36B : Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
C.
Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam
bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan hankam.
Pokok-pokok pikiran
persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan pancaran dari Pancasila. Empat
pokok pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar
negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Penjabaran
keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945
mencakup empat aspek kehidupan bernegara, yaitu: politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi POLEKSOSBUD HANKAM.
1.
Aspek Kebijakan
dalam Bidang Politik
a.
Pasal 26, mengatur
tentang siapa saja yang menjadi warga negara (implementasi sila ke 2)
(1)
Yang
menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2)
Penduduk
ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
(3)
Hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
b.
Pasal 27 ayat 1,
tentang
persamaan hak dan
kewajiban (egaliter) (implementasi sila
ke 2)
“Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
c.
Pasal 28, mengatur hak untuk
berserikat,berkumpul dan menyatakan pendapat (sila ke 4)
“Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal-pasal tersebut adalah
penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Kedaulatan Rakyat dan Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, yang masing-masing merupakan pancaran dari sila ke-4
dan ke-2 pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi kehidupan
nasional bidang politik di Negara Republik Indonesia. Berdasarkan penjabaran kedua pokok pikiran tersebut,
maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik harus berdasar pada
manusia yang merupakan subyek pendukung pancasila, sebagaimana dikatakan oleh
Noto Nagoro bahwa yang berketuhanan, berkemanusiaan,berpersatuan,
berkerakyatan, dan berkeadilan adalah manusia. Manusia
adalah subyek negara dan oleh karena itu politik negara harus berdasar dan
merealisasikan harkat dan martabat manusia di dalamnya. Hal ini dimaksudkan
agar sistem politik negara dapat menjamin hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan negara dalam
bidang politik di Indonesia harus memperhatikan rakyat yang merupakan pemegang
kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Selain itu, sistem politik
yang dikembangkan adalah sistem yang memperhatikan pancasila sebagai
dasar-dasar moral politik.
2.
Aspek Kebijakan
dalam Bidang Ekonomi
a.
Pasal 27 ayat
2, berbicara tentang kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak. (implementasi sila ke 5)
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
b.
Pasal 33, ayat berbicara tentang sistem ekonomi yang dikelola untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. (implementasi sila ke 4)
c.
Pasal 34,
(1)
Fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pasal-pasal
tersebut adalah penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Kedaulatan Rakyat dan
Keadilan Sosial yang masing-masing merupakan pancaran dari sila ke 4 dan
sila ke-5 pancasila.
Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi
pembangunan sistem ekonomi pancasila dan kehidupan ekonomi nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan
negara dalam bidang ekonomi di indonesia dimaksudkan untuk menciptakan sistem
perekonomian yang bertumpu pada kepentingan rakyat dan berkeadilan. Salah satu
pemikiran yang sesuai dengan maksud ini adalah gagasan ekonomi kerakyatan yang
dilontarkan oleh Mubyarto, yaitu pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar
pertumbuhan, melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Dengan kata lain, pengembangan ekonomi tidak bisa di pisahkan dengan
nilai-nilai moral kemanusiaan.
3.
Aspek Kebijakan
dalam Bidang Sosial Budaya
a.
Pasal 29 ayat 1 dan 2, berbicara tentang pengakuan prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa serta kebebasan bagi warga negara dalam meyakini tiap agama dan
menjalankan ibadah sesuai keyakinan. (implementasi sila ke 1)
b.
Pasal 31 ayat 1, menetapkan bahwa tiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan yang layak. (implementasi sila ke 2)
c.
Pasal 32 ayat 1, negara menjamin dan menjaga nilai-nilai budaya
dan bahasa sebagai kekayaaan budaya nasional. (implementasi sila ke 3)
Pasal-pasal tersebut adalah
penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, dan Persatuan yang massing-masing merupakan
pancaran dari sila pertama, kedua, dan ke-tiga pancasila. Ketiga pokok pikiran
ini adalah landasan bagi pembangunan bidang kehidupan keagamaan, pendidikan,
dan kebudayaan nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok
pikiran tersebut, maka implementasi pancasila dalam pembuatan kebijakan negara
dalam bidang sosial budaya mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat indonesia harus diwujudkan dalam proses
pembangunan masyarakat dan kebudayaan di indonesia. Dengan demikian, pancasila
sebagai sumber nilai dapat menjadi arah bagi kebijakan negara dalam
mengembangkan kehidupan sosial budaya indonesia yang beradab, sesuai dengan
sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengembangan
sosial budaya harus dilakukan dengan mengangkat nilai-nilaiyang dimliki bangsa
indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari
fungsi Pancasila sebagai sebuah sistem etika yang keseluruhan nilainya
bersumber dari harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab.
4.
Aspek Kebijakan
dalam Bidang Pertahanan Keamanan
a.
Pasal 27 ayat 3,
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara.”
b.
Pasal 30 ayat 1,
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Pasal-pasal
tersebut merupakan penjabaran dari Pokok-pokok Pikiran Persatuan yang
merupakan pancaran dari sila pertama pancasila. Pokok pikiran ini adalah
landasan bagi pembangunan bidang pertahanan dan keamanan nasional. Berdasarkan penjabaran diatas, maka implementasi
pancasila dalam pembuatan kebijakan negara pada bidang pertahanan dan keamanan
harus diawali dengan kesadaran bahwa indonesia adalah negara hukum.
Pertahanan dan keamanan negara di
atur dan dikembangkan menurut dasar kemanusiaan, bukan kekuasaan dengan kata
lain, pertahanan dan keamanan indonesia berbasis pada moralitas keamanan
sehingga kebijakan yang terkait dengannya harus terhindar dari pelanggaran
hak-hak asasi manusia. Secara sistematis, pertahanan keamanan negara harus
berdasar pada tujuan tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama dan kedua), berdasar pada tujuan untuk
mewujudkan kepentingan seluruh warga sebagai warga negara (sila ke tiga), harus
mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan
(sila keempat), dan ditujukan untuk mewujudkan keadilan dalam hidup masyarakat
(sila kelima). Semua ini dimaksudkan agar pertahanan dan keamanan dapat
ditempatkan dalam konteks negara hukum, yang menghindari kesewenang-wenangan
negara dalam melindungi dan membela wilayah negara dengan bangsa, serta dalam
mengayomi masyarakat.
3 komentar:
ber manfaat banget... tq
Bandarq
Agen Bandarq
Judi Bandarq Online
Verifikasi Kode Judi Online
Menang Judi Online Dengan Verifikasi Kode
BandarQ Agen Sakong Judi AduQ Capsa Bandar Poker BdDomino
Menang Main Poker Online
Cara Curang Menang Bandarq
Bandar Sakong
RGOSakong
WSakong
IDNSakong
Agen Judi Online
Judi Sakong 69
Cerita Seks Abg
Link Alternarif Ceme
Link Alternarif BandarQ
Agen Judi Bandar66
Agen Judi Super10
Cewek Terapis Spa
Posting Komentar