Jumat, 27 Januari 2017

PAPER PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN : RELOKASI WARGA LUAR BATANG DAN MANUSIA PERAHUNYA

TUGAS
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“RELOKASI WARGA LUAR BATANG DAN MANUSIA PERAHUNYA”

Disusun Oleh  :

Dea Tita Hastika
(20158300219)


Dosen Pengampu :
Rida Hartiasih, S.pd,M.pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP KUSUMA NEGARA
JAKARTA
2016

Habis Digusur Terbitlah Manusia Perahu di Luar Batang
Oleh Musni Umar
Lima hari setelah penggusuran Pasar Ikan Luar Batang Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, Sabtu, 16 April 2016 pukul 04.00 wib, driver TV ONE menjemput saya menjadi narasumber untuk membahas “Manusia Perahu”.  Tiba di lokasi sekitar pukul 04.40 WIB, saya langsung ke Masjid Keramat Luar Batang yang amat terkenal itu untuk shalat Subuh berjamaah. Di dalam Masjid yang sudah ramai jamaah, saya langsung shalat sunat dua rakaat, dilanjutkan shalat Subuh berjamaah. Setelah shalat Subuh, saya keluar dan melihat di halaman Masjid di pasang dua spanduk diantaranya bertuliskan “JANGAN USIR RAKYAT HANYA DEMI KEPENTINGAN PENGEMBANG”. Di luar halaman Masjid,  saya melihat mobil Ambulance Front Pembela Islam (FPI) yang sedang parkir, kemudian saya bertemu teman-teman wartawan TV ONE dan kami bersama-sama jalan kaki menuju lokasi tempat “Manusia Perahu”.
Di sekitar perahu mereka, saya menyaksikan cukup banyak orang yang tidur disembarang tempat di bekas gusuran Akuarium dan Pasar Ikan dengan beralas triplex, papan bekas gusuran, kasur yang sudah kelihatan kotor, di jembatan beton,  ditenda seadanya, dan ibu-ibu serta anak-anak mereka tidur di dalam perahu yang sempit dan sumpek. Di beberapa perahu, saya melihat dipasang spanduk Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa orang yang berbaju dan bercelana putih dari FPI. Selain itu, di rumah-rumah penduduk yang menghadap laut, cukup banyak spanduk yang dipasang sebagai bentuk penolakan terhadap penggusuran seperti  bertuliskan “JANGAN PERLAKUKAN KAMI SEPERTI SAMPAH”.  “TNI ABDI NEGARA POLISI PENGAYOM BUKAN SEBALIKNYA”.
Manusia Perahu, Mereka yang digusur dari Pasar Ikan dan kampung Akuarium Luar Batang Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, secara garis besar terbagi dua bagian. Pertama, pindah di Rusun Marunda, Jakarta Utara, dan di Rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur. Kedua, pindah di perahu bersama anak-anak, isteri dan keluarga. Mereka yang memilih pindah di perahu dan kemudian disebut manusia perahu, setidaknya ada lima alasan yang mendasari, mereka menolak pindah di Rusun dan tinggal diperahu.
Pertama, Rusun di Marunda dan Rawa Bebek terlalu kecil, tidak mampu menampung keluarga mereka yang tergolong besar. Ada yang satu rumah berjumlah sampai dua belas orang bahkan lebih. Sebagai contoh menurut mereka, Rusun di Rawa Bebek berukuran 3x7 m, mana mungkin bisa menampung mereka.
Kedua, Rusun Marunda di Jakarta Utara, dan Rusun Rawa Bebek di Jakarta Timur, sangat jauh dari tempat mereka mencari nafkah yaitu di laut sebagai nelayan, pelayar, dan kuli di pelabuhan Sunda Kelapa. Dari Marunda sebagai contoh, untuk sampai di tempat mereka mencari nafkah memerlukan tiga kali ganti kendaraan umum, dari mana mereka peroleh uang. Padahal kalau melaut, tidak selamanya dapat rezeki, adakalanya untuk menutup biaya makan dan beli solar tidak cukup.
Ketiga, keamanan perahu mereka. Kalau mereka pindah ke Rusun yang disiapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, siapa yang jaga perahu, mesin penggerak perahu, dan peralatan tangkap ikan mereka?
Keempat, merasa diperlakukan tidak adil. Mereka sudah turun-temurun di kawasan Pasar Ikan, punya KTP, bayar PBB, punya rumah tempat tinggal secara permanen, digusur tanpa ganti rugi apalagi ganti utung.
Kelima, mereka tidak ingin meninggalkan kawasan Pasar Ikan, tempat mereka mencari nafkah, tempat mereka lahir dan besar dan secara turun-temurun telah berada di kawasan itu. Mereka ingin kalau pemerintah mau menata kawasan Pasar Ikan, mereka siap dipindahkan di Rusun yang dibangun didekat tempat mereka mencari nafkah. Manusia perahu yang lahir dari kebijakan pemerintah secara sepihak, dengan menggusur tempat tinggal mereka di kawasan Pasar Ikan, betapapun tujuannya mulia dengan merelokasi mereka ke rumah susun, tetapi mereka adalah subyek pembangunan, sehingga penting dan bahkan merupakan conditiio sine quanon, kita mendengar apa mau rakyat. Apa yang baik bagi pemerintah, belum tentu baik bagi rakyat, karena akhirnya yang menjalani adalah rakyat. Maka dengarkanlah aspirasi, harapan dan jeritan rakyat.  Pembangunan tidak boleh lagi bersifat top down dengan menggunakan aparat untuk memaksa rakyat mengikuti mau “sipenguasa”. Allahu a’lam bisshawab

Sumber :
www.kompasiana.com/musniumar/habis-digusur-terbitlah-manusia-perahu-di-luar-batang_5711f16fd77a614907ea4d67+&cd=1&hl=en&ct=clnk

Pembahasan
           Kasus pemindahan  warga Pasar Ikan Luar Batang, Penjaringan  ke Rusunawa Marunda dan Rawabebek langsung disambut debat pro- dan kontra- yang terbilang sengit di media sosial.  Debat semacam itu sudah sewajarnya.  Itu gejala sehat. Pertanda demokrasi masih hidup di negeri ini. Namun, jika argumen yang diajukan  sudah mengandung kesalahan (fallacy) yang disengaja,  maka itu bukan lagi debat  yang sehat.  Tidak sehat karena kesalahan  itu dimaksudkan menyesatkan publik kepada simpulan tertentu.
           Dua kesalahan yang terkandung dalam argumen-argumen debat itu adalah pengajuan dua fakta palsu yaitu “penggusuran” dan “manusia perahu”.  Kelompok “kontra-“ khususnya telah membuat  sebuah argumen keliru yaitu : (1) Pemda DKI melakukan “penggusuran” terhadap warga Luar Batang, Penjaringan, dan (2) penggusuran tersebut menyebabkan munculnya “manusia perahu” di perairan Pasar Ikan Luar Batang.
Berseberangan dengan artikel tersebut, saya berpendapat bahwa tidak adanya “penggusuran” dan “manusia perahu” di Luar Batang.  Yang saya maksud adalah bukan “Penggusuran” akan tetapi “Relokasi” . Apa yang telah terjadi di Luar Batang bukanlah penggusuran melainkan relokasi warga oleh Pemda DKI . Secara sosiologis jelas antara penggusuran dan relokasi merupakan dua proses sosial yang berbeda. Penggusuran diartikan sebagai proses pemindahan paksa warga dari suatu lokasi tanpa solusi penyediaan lokasi baru, tidak ada kompromi, dan diharuskan pindah dari lokasi itu. Kemana pindahnya, itu terserah padawarga dan bukan lagi urusan penggusur. Namun, relokasi adalah proses pemindahan warga dari satu lokasi dengan solusi penyediaan lokasi baru, terdapat kompromi di sini dan warga dipindahkan ke lokasi baru dengan memperoleh fasilitas dampingan serta sarana dan prasarana sosial-ekonomi.
Pada kasus Luar Batang, Pemda DKI telah menyediakan lokasi baru bagi warga yang terkena relokasi, yaitu ke Rusunawa Marunda, Jakarta Utara dan Rusunawa Rawabebek, Jakarta Timur.  Juga disediakan prasarana dan sarana sosial-ekonomi tertentu.  Karena itulah, jelas yang terjadi di Pasar Ikan Luar Batang adalah suatu proses relokasi warga, bukan penggusuran warga.  Langkah relokasi itu dilaksanakan sebagai implementasi rencana penataan ruang kota untuk mewujudkan Jakarta modern, sebagai representasi Indonesia Hebat.
Lalu mengapa istilah penggusuran yang mencuat? Sebenarnya ini istilah yang lazim digunakan oleh kalangan LSM atau oleh pihak mana saja yang menganggap relokasi sebagai pelanggaran HAM atau yang menganggap relokasi sebagai “akal-akalan pemerintah untuk alih-fungsi pemukiman warga menjadi kawasan bisnis”.
Memang pada banyak kasus, semasa  Orde Baru dan sesudahnya, implementasi pemindahan warga kampung di DKI Jakarta memang bukan perwujudan relokasi.  Tapi perwujudan penggusuran  untuk memfasilitasi alih-fungsi ruang menjadi kawasan bisnis. Karena itu, setiap tindakan pemindahan warga kampung di DKI Jakarta sampai kini selalu dikonotasikan penggusuran.  Konotasi penggusuran itu pertama-tama muncul dari warga yang dipindah.  Lalu diamplifikasi oleh aktivis LSM, Ormas, Parpol, dan pers melalui media massa dan media sosial.  Tujuannya membentuk persepsi publik tentang penggusuran. Anehnya, aparat Pemda DKI sendiri ikut terseret pada  persepsi bahwa yang sedang terjadi adalah penggusuran.  Sekalipun dokumen resmi menyebutkan relokasi.
Hal semacam itu terjadi juga pada kasus Luar Batang. Bukan “Manusia Perahu” akan tetapi “Kelompok Perlawanan”. Pada artikel diatas secara eksplisit menyatakan bahwa tindakan “penggusuran” di Pasar Ikan Luar Batang telah melahirkan “Manusia Perahu”.   Inilah persepsi yang beredar luas di media massa dan media sosial indonesia.  Tapi apa benar begitu faktanya? Menurut saya tidak, karena alasannya adalah pertama, tindakan “penggusuran” itu sendiri memang tidak pernah ada.  Saya sudah jelaskan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah “relokasi” warga bukan “penggusuran”.
Kedua, “Manusia Perahu” itu adalah istilah yang disematkan oleh pengamat dan aktivis sosial dari luar warga Luar Batang kepada sekelompok warga yang menolak relokasi dan memilih bertahan tinggal di atas perahu mereka. Sejatinya mereka adalah “kelompok perlawanan” yang menolak pindah, jadi, mereka yang disebut “Manusia Perahu” itu sama saja posisinya dengan, misalnya, sekelompok warga yang menolak digusur atau direlokasi lalu bertahan tinggal dalam tenda-tenda.  Hanya saja, mereka tak disebut sebagai “Manusia Tenda”.
Lalu bagaimana dengan hak mereka? Kembali kepada hak dan kewajiban warga negara Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Jika pemda DKI tahu akan pasal tersebut, maka sudah seharusnya mereka memperlakukan warga luar batang secara baik dengan menganti tempat relokasi yang layak terhadap mereka serta dekat dengan tempat tinggal mereka yang terkena relokasi. Sehingga mereka masih bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Bagaimana mereka tidak mau pindah dari tempat tersebut, itu dikarenakan rusun yang disediakan oleh Pemda DKI tidak layak untuk dihuni ataupun berukuran kecil jika 1 keluarga berjumlah lebih dari 4 atau 5. Seharusnya pemda DKI harus lebih lama memikirkan bagaimana nasib warga-warga yang terkena relokasi tersebut agar mereka mau untuk direlokasi tanpa harus terdapat perlawan dari mereka sendiri.
Namun sebenarnya, dalam peristiwa ini tidak hanya pemda DKI saja yang disalahkan, karena warga Luar Batang pula dapat bersalah. Apa alasannya? Apakah warga Luar Batang telah menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik? Yang memelihara lingkungan tempat tinggal dari sampah atau menjaga kesehatan dilingkungan tersebut. Lalu bagaimana dengan tempat tinggal yang mereka tempati sekarang ini? Apakah itu semua adalah tanah yang secara hukum milik mereka?
Sebagai warga negara yang baik, mereka harus berkaca pada tempat tinggal yang mereka tempati itu adalah milik mereka resmi atau bukan. Jika bukan, mereka harus menerima apabila terjadi relokasi oleh pemda setempat. Namun, apabila tempat itu merupakan hak milik mereka secara resmi maka seharusnya pemerintah menjalankan kewajibannya untuk mengganti apa yang telah menjadi hak warga Luar Batang.
Setidaknya ada tiga butir kritik yang perlu menjadi perhatian Pemda DKI. Pertama, relokasi Pasar Ikan Luar Batang itu tidak direncanakan secara matang.  Jelas perencanaannya tidak bersifat partisipatif karena terbukti dari munculnya kelompok perlawanan yang bertahan di perahu-perahu mereka, juga terindikasi dari ketidaksiapan Pemda DKI menampung bekas warga Luar Batang di Rusunawa Marunda dan Rawabebek.
Kedua, relokasi warga Luar Batang tidak didasarkan pada pemahaman yang lengkap tentang struktur dan kultur kelompok warga tersebut. Terbukti lokasi baru, Rusunawa Marunda dan Rawabebek, tidak kompatibel dengan struktur dan kultur ekonomi nelayan yang ditekuni oleh warga Luar Batang. Ketiga, kegiatan relokasi warga Luar Batang tersebut tidak dirancang sebagai program transformasi sosial-ekonomi untuk peningkatan taraf ekonomi warga miskin. Terindikasi relokasi tersebut bukan suatu mobilitas sosial vertikal, melainkan hanya mobilitas sosial horizontal. Kondisi lama dan baru sama saja.
Kelebihan
Didalam artikel ini pembahasan dan topiknya sangat menarik karena artikel ini membahas permasalahan yang tengah marak terjadi di masyarakat Jakarta, yaitu pengrelokasian warga-warga Jakarta untuk pindah ke Rusunawa yang sudah disiapkan oleh Pemprov DKI. Disini juga dibahas tentang alasan mengapa para warga Luar Batang yang tidak mau di relokasi dan lebih memilih untuk tinggal di perahu mereka sehingga memunculkan istilah baru yaitu manusia perahu.
Kekurangan
Didalam artikel ini penulis tidak memaparkan tentang relokasi yang sebenarnya dilakukan oleh Pemprov DKI, bukanlah penggusuran.
Kesimpulan
           Pada kesimpulannya, peristiwa yang terjadi pada warga Luar Batang adalah relokasi warga setempat untuk dipindahkan ke tempat baru atau rusunawa yang sudah disediakan oleh Pemda DKI. Pengrelokasian ini sebenarnya cukup bagus, karena mengingat Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia, maka haruslah ditertibkan warga-warganya yang masih tinggal di daerah yang akan menjadi pembangunan di Jakarta. Namun terlepas dari itu, pemda DKI harus pula mengutamakan hak-hak dari warga Luar Batang untuk memberikan tempat tinggal baru yang layak dihuni bukan semata-mata hanya menyediakan tempat baru saja namun juga memikirkan bagaimana nasib mereka ketika mereka di relokasikan ke tempat yang bukan lingkungan asli dari mereka, karena mereka yang tinggal di Luar Batang rata-rata merupakan nelayan maka haruslah merelokasikan ke tempat yang sama dengan lingkungan yang biasa mereka tinggali. Dan sebagai warga negara yang baik, mereka juga harus menaati peraturan yang pemerintah telah buat agar terlaksananya kehidupan yang lebih baik dan terjaga kedepannya. Sehingga mereka ataupun kita sebagai warga negara bisa membantu perkembangan negara Indonesia untuk menjadi negara berkembang bahkan negara maju, serta tidak melupakan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar