Tampilkan postingan dengan label Filsafat Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat Ilmu. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Januari 2017

PAPER FILSAFAT ILMU : ILMU DAN BAHASA

FILSAFAT ILMU
ILMU DAN BAHASA



Disusun Oleh :
    1. Dea Tita Hastika     (20158300219)
    2. Debi Paradita          (20158300210)
    3. Indah Sari               (20138300315)
    4. Ines Novika Santia  (20158300215)
    5. Intan Septiana         (20158300100)
     
              Dosen Pengampu
           
           Andy Ahmad,  M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP KUSUMA NEGARA JAKARTA
2016


Ilmu dan Bahasa
A.    Terminologi : Ilmu, Ilmu Pengetahuan dan Sains
Dua Jenis Ketahuan
Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk “ketahuan” seperti kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat.[1] Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisial yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui tersebut tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya kita masukka ke dalam kategori yang disebut ketahuan ini. Dalam bahasa Inggris sinonim dari ketahuan ini adalah knowledge.
Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, matematika, seni, bela diri, cara menyulam dan biologi. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni:
1.    Obyek Ontologis
Apakah obyek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan (knowledge) tersebut? Kriteria ini disebut obyek ontologis umpamanya ekonomi menelaah hubungan antara manusia dengan benda/jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan manajemen menelaah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui bersama.
2.    Landasan Epistemologis
Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) tersebut; atau dengan perkataan lain, bagaimana caranya mendapatkan ketahuan (knowledge) itu? Kriteria ini disebut landasan epistemologis yang berbeda untuk tiap bentuk apa yang diketahui manusia. Umpamanya landasan epistemologis matematika adalah logika deduktif dan landasan epistemologis kebiasaan adalah pengalaman dan akal sehat. Landasan epistemologis ditandai dengan metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico-hyphotetico-verifikasi;
3.    Landasan aksiologi
Untuk apa ketahuan (knowledge) itu dipergunakan atau nilai kegunaan apa yang dipunyai olehnya? Kriteria ini disebut landasan aksiologis yang juga dapat dibedakan untuk tiap jenis ketahuan (knowledge). Nilai kegunaan seni pencak jelas berbeda dengan nilai kegunaan filsafat atau fisika nuklir.
Jadi Seluruh bentuk dapat digolongkan kedalam kategori pengetahuan (knowledge) dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakter obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologi masing-masing. Salah satu bentuk knowledge ditandai dengan:
1)    Obyek Ontologis yaitu pengalaman manusia yakni segenap ujud yang dapat dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan pancaindra;
2)    Landasan epistemologis yaitu metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico-hyphotetico-verifikasi;
3)    Landasan aksiologi: kemaslahatan manusia artinya segenap ujud pengetahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.
Bentuk ketahuan (knowledge) ini dalam bahasa Inggris adalah science. Dengan demikian, maka masalahnya adalah terdapat perbedaan antara knowledge dan science; antara ketahuan yang bersifat generik dan bentuk ketahuan yang spesifik yang mempunyai obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologis yang khas.

Beberapa Alternatif
Alternatif pertama adalah menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge. Hal ini yang sekarang umum dipakai, walaupun dalam penggunaannya masih memiliki beberapa kelemahan.
Alternatif kedua didasarkan kepada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua kata benda yaitu ilmu dan pengetahuan. Dalam hal ini maka yang lebih tepat kiranya adalah penggunaan kata pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science. Dengan demikian, social sciences diterjemahkan dengan ilmu-ilmu sosial dan natural sciences dengan ilmu-ilmu alam Ilmu-ilmu alam dan Ilmu-ilmu sosial ini termasuk humaniora (seni, filsafat, bahasa dan sebagainya) termasuk kedalam pengetahuan yang merupakan terminologi generik. Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan; metode yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah adalah metode ilmiah; dan ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan.

B.     Quo Vadis
Dalam Konperensi Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III LIPI yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 15-19 September 1981 terdapat suatu saran agar dipergunakan terminologi ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge dengan alasan :
1)       Ilmu (species) adalah sebagian dari pengetahuan (genus);
2)      Dengan demikian maka ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, yakni ciri-ciri ilmiah, atau dengan perkataan lain, ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge);
3)      Menurut tata bahasa Indonesia berdasarkan hukum D(iterangkan)/M(enerangkan) maka ilmu pengetahuan adalah ilmu (D) yang bersifat pengetahuan (M) dan pernyataan ini pada hakikatnya adalah salah sebab ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah;
4)      Ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu dan pengetahuan.
Ternyata dalam konperensi tersebut terdapat pendapat lain yang sangat berbeda yakni :
1)      Ilmu merupakan genus di mana terdapat bermacam species, seperti ilmu kebatinan, ilmu agama, ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan;
2)      Dengan demikian maka terminologi ilmu pengetahuan adalah sinonim dengan scientific knowledge;
3)      Ilmu adalah sinonim dengan knowledge dan pengetahuan dengan science;
4)      Berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan adalah ilmu (knowledge) yang bersifat pengetahuan (scientific).
Terminologi Ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge, secara defacto dalam kalangan dunia keilmuwan terminologi ilmu sudah sering dipergunakan seperti dalam metode ilmiah dan ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu alam.
Ilmu kebatinan adalah salah sebab seharusnya kebatinan bukan ilmu melainkan pengetahuan. Dengan mengambil ilmu pengetahuan untuk scientific knowledge, ilmu untuk knowledge, dan pengetahuan untuk science, maka harus dibedakan beberapa perubahan antara lain (1) metode ilmiah harus diganti dengan metode pengetahuan; (2) ilmu sosial itu harus diganti dengan pengetahuan sosial; (3) ilmuan harus diganti dengan ahli pengetahuan. Dengan demikian terminologi yang berkaitan dengan dunia keilmuan secara tuntas dapat dijernihkan

C.    Politik Bahasa Nasional
Bahasa mempunyai dua fungsi yaitu; (1) sebagai sarana komunikasi antarmanusia dan (2) sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi pertama dapat disebut sebagai fungsi komunikatif dan fungsi kedua sebagai fungsi kohesif atau integratif.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan alasan utama yaitu fungsi kohesif bahasa Indonesia sebagai sarana yang mengintegrasikaan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia.
Selaku alat komunikasi pada pokoknya bahasa mencakup tiga unsur yakni, pertama, bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan (emotif), kedua, berkonotasi sikap (afektif) dan ketiga, berkonotasi pikiran (penalaran). Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi komunikasi bahasa dapat diperinci lebih lanjut menjadi fungsi emotif, afektif dan penalaran.
Perkembangan bahasa pada dasarnya adalah pertumbuhan ketiga fungsi komunikatif tersebut agar mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut. Kaitan antara fungsi komunikasi dan fungsi kohesif dari bahasa ialah untuk dapat mencerminkan kemajuan zaman maka fungsi komunikasi bahasa harus secara terus menerus dikembangkan, namun walaupun demikian harus secara sadar dan waspada kita jaga agar fungsi kohesif dari bahasa Indonesia yang merupakan milik yang sangat berharga dalam berbangsa dan bernegara tetap terpelihara dan kalau mungkin bahkan lebih ditingkatkan lagi.




[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2009, hlm. 291.

PAPER FILSAFAT ILMU : ONTOLOGI (HAKIKAT APA YANG DIKAJI)

FILSAFAT ILMU
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI



Disusun Oleh :

1. Dea Tita Hastika     (20158300219)
2. Debi Paradita          (20158300210)
3. Indah                       (20138300315)
4. Ines Novika Santia  (20158300215)
5. Intan Septiana         (20158300100)
     
                Dosen Pengampu

                                                            Andy Ahmad,  M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP KUSUMA NEGARA JAKARTA
2016

Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji
A.    Pengertian Ontologi
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistimologi), dan teori nilai (aksiologi).
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
·         Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada.
·         Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yg asas, baik yang berbentuk jasmani / konkret, maupun rohani / abstrak.

B.     Metafisika
Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Pemikiran diibaratkan roket yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi, maka metafisika adalah landasan peluncurannya.
Acuan berfikir : apakah hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya?
Beberapa tafsiran metafisika : Di alam ini terdapat ujud – ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa bila dibandingkan dengan alam yang ada. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini. Beberapa tafsiran mengenai metafisika yang dipaparkan oleh Jujun (1995), sebagai berikut:
Tafsiran 1 :
·           Animisme merupakan kepercayaan berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Supernaturalisme adalah manusia percaya bahwa terdapat roh-roh gaib dalam benda tertentu.
·           Materialisme (Democritus) merupakan kepercayaan berdasarkan pemikiran naturalisme. Naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam yang terjadi disebabkan oleh kekuatan alam itu sendiri, yang dapat dipelajari sehingga dapat kita ketahui kebenarannya.
Tafsiran 2 :
·           Mekanistik berpendapat gejala alam merupakan gejala kimia-fisika semata.
·           Vitalistik berpendapat hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan proses kimia-fisika.
Tafsiran 3 :
“Proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat yang dipelajarinya”, dari pernyataan tersebut muncul pertanyaan “Apakah hakikat kebenaran pikiran tersebut?”.
·           Monistik (Christian Wolff) menyatakan pada dasarnya pikiran dan zat itu sama, hanya berbeda pada gejala yang ditimbulkan yang disebabkan oleh proses yang berlainan, tetapi keduanya mempunyai substansi yang sama. Proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
·           Dualistik (Thomas Hyde) berpendapat bahwa zat dan pikiran berbeda secara substantif. Rene Descartes, John Locke, dan George Berkeley menyatakan apa yang ditangkap oleh pikiran merupakan penginderaan dari pengalaman manusia yang bersifat mental.
(1)     Descartes berpendapat pikiran itu bersifat nyata sebab dengan berpikir sehingga sesuatu menjadi ada.
(2)     Locke berpendapat pikiran diibaratkan organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera.
(3)     Berkeley menyatakan sesuatu itu ada disebabkan adanya persepsi.
Pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh kaitannya, itu semua tergantung kita. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Pencapaian pengetahuan melalui penjelajahan ilmiah akan menimbulkan masalah secara terus menerus.
Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda, boleh menganut paham yang berbeda-beda. Titik temu para ilmuan mengenai hal ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.
C.    Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih dibuktikan). timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi).
Determinisme
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Tomas Hubes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
Pilihan bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Misalnya, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagaimana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Sifat asumsi :
Tidak muthlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat muthlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan muthlak.
Kedudukan ilmu dalam asumsi  :
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Resiko asumsi :
Apa yang diasumsikan akan mengandung resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya akan berhasil maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba-tiba usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan pestanya.
Kesimpulan :
(1)     Sebuah asumsi aalah sebuah ketidakpastian.
(2)     Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan.
(3)     Timbulnya asumsi karena adanya sesuatu kejadian / kenyataan.
D.    Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
E.     Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Beberapa asumsi dalam ilmu akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis (pragmatis adalah sesuatu yang mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya (zat, gerak, ruang dan waktu).
Beberapa perbedaan asumsi :
1. Newton dalam bukunya Philosipiae Naturalis Principia Mathematika (1686) berasumsi bahwa keempat komponen bersifat absolut. Zat bersifat absolut dengan demikian berbeda secara subtantif dengan energi.
2. Einstein belaianan asumsi dengan Newton di dalam bukunya : The Special Theory Of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen (zat, gerak, ruang dan waktu) bersifat relatif. Tidak mungkin dapat mengukur gerak secara absolute.
3. Euclides (330-275 SM ) seorang ahli matematika yunani di iskandariyah Mesir. Terkenal karena menulis buku-buku tentang dasar ilmu ukur yang diuraikan berdasarkan aksioma-aksioma (kebenaran yang tak perlu lagi diragukan lagi akan kebenarannya). Dalam masalah tertentu akan cenderung dengan teori relativitas (Einstein).
Dalam mengembangkan asumsi, maka harus memperhatikan beberapa hal berikut.
1.      Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2.      Asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
F.     Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Fungsi ilmu dalam kehidupan manusia adalah sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi kapling-kapling disiplin keilmuan. Sempitnya daerah penjelajahan satu bidang keilmuan maka sering diperlukan pandangan dari disiplin lain. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi disipliner tidak akan bersifat konstruktif.
Cabang-cabang ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu sosial. Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis.  Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-massalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.


DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996. 

REVIEW JURNAL FILSAFAT : FILSAFAT, ETIKA DAN ILMU: UPAYA MEMAHAMI HAKIKAT ILMU DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

TUGAS
ANALISIS JURNAL FILSAFAT ILMU
“FILSAFAT, ETIKA DAN ILMU: UPAYA MEMAHAMI HAKIKAT ILMU DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN”


Disusun Oleh  :

Dea Tita Hastika
(20158300219)


Dosen Pengampu :
Andy Ahmad, M.Pd.


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP KUSUMA NEGARA
JAKARTA
2016


A.  Kasus
·        Judul              :  FILSAFAT, ETIKA DAN ILMU : Upaya Memahami Hakikat                         Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan
·        Penulis            :  Sri Rahayu Wilujeng
·        Sumber           :  http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/5313

B.  Ringkasan Jurnal
Pendahuluan
Imanuel Kant (1724-1802) menuliskan kalimat mutiara pada batu nisan makamnya, yang diartikan :
“Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia.” Menurut Kant kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada moralnya. Francis Bacon seorang Empirisme Inggris mengagungkan semboyan “Knowledge is power”. Kepercayaan dan memujaan akal yang berlebihan masih terus berlangsung sampai sekarang. Namun ada pertanyaan yang mendasar sehubungan dengan hal ini, apakah benar yang menjadi keunggulan manusia itu adalah akalnya, sehingga aspek-aspek manusia yang lain tidak perlu dihiraukan? Bagaimana dengan dampak negatif dari ilmu pengetahuan.
Di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia akademis di Indonesia  semboyan Francis Bacon “knowledge is power” sebaiknya direvisi  menjadi  “knowledge is power but moral is more”.
Filsafat
Kata filsafat berasal  dari bahasa Yunani “philosophia” dari kata “philos” artinya cinta dan “Sophia” artinya pengetahuan yang bijaksana. Kemunculan filsafat pada abad ke 5SM merupakan pendobrakan terhadap dominasi jaman mitos atas klaim kebenaran. Pada masa ini akal mulai digunakan dalam upaya mencari kebenaran, sebagai sarana mencari kebenaran, sebagai sumber kebenaran. Sejarah pemikiran memasuki jaman baru yaitu jaman Logos. Filsafat dikatakan sebagai mother of science.
Filsafat mempunyai dua pengertian: Pertama filsafat sebagai produk: mengandung arti filsafat sebagai jenis ilmu pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang merupakan hasil proses berfilsafat. Kedua filsafat sebagai suatu proses, dalam hal ini filsafat diartikan sebagai bentuk aktivitas berfilsafat sebagai proses pemecahan masalah dengan menggunakan cara dan metode tertentu.
Tidak semua kegiatan berpikir adalah suatu aktivitas berfilsafat. Kegiatan berpikir secara kefilsafatan ilmu memiliki ciri-ciri: Kritis Radikal-Konseptual-Koheren-Rasional-Spekulatif-Sistematis-Komprehensif-Bebas-Universal.
Adapun cabang filsafat yang pokok adalah:  Ontologi-Epistemologi-Metodologi-Logika-Etika-Estetika. Cabang-cabang filsafat ini masih memiliki sub seperti: filsafat sosial, filsafat politik, filsafat kukum, filsafat ekonomi, filsafat agama, dan lingkaran ketiga seperti: filsafat ilmu, filsafat kebudayaan, filsafat bahasa, filsafat lingkungan.
Etika (Filsafat Moral)
Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-buruk.Etika membicarakan tentang pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan-tindakan baik buruk, susila tidak susila dalam hubungan antar manusia.
Ada perbedaan antara etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau perbuatan yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik buruk. Sedangkan etika adalah adalah pengkajian secara mendalam tentang sistem nilai yang ada, Jadi etika sebagai suatu ilmu adalah cabang dari filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang berlaku. Moral itu adalah ajaran system nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana adanya, tetapi etika adalah kajian tentang moral yang bersifat kritis dan rasional.
Moral berkaitan dengan penilaian baik-buruk mengenai hal-hal yang mendasar yang berhubungan dengan nilai kemanusiaan, sedang etika/etiket berkaitan dengan sikap dalam pergaulan, sopan santun, tolok ukur penilaiannya adalah pantas-tidak pantas. Di samping itu ada istilah lain yang berkaitan dengan moral, yaitu norma. Norma adalah nilai yang menjadi milik bersama dalam suatu masyarakat yang telah tertanam dalam emosi yang mendalam sebagai suatu kesepakatan bersama.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini adalah masyarakat hanya takut pada norma hukum yang mempuyai sangsi yang jelas dan tegas yang pelaksanaannya berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral yang pelaksanaan-nya berdasarkan kesadaran sebagai manusia, tidak ada  sangsi yang nyata mulai ditinggalkan. Esensi pembeda antara manusia dan makhluk lain adalah pada aspek moralnya. Pada morallah manusia menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral seharusnya menjadi landasan tingkah laku manusia debgan segala kesadarannya.
Ketika norma moral (moralitas) tidak ditakuti/dihargai maka masyarakat akan kacau. Norma moral muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam  hidup manusia.  Norma moral lebih besar pengaruhnya dari pada norma sopan santun, bahkan dengan norma hukum yang merupakan produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah orang mengambil sikap dan menilai norma lain.
Secara umum yang membedakan manusia dengan binatang adalah pada akalnya. Akal mempunyai dua aspek dalam penggunaannya jika digunakan secara benar akan meningkatkan taraf kemanusiaaannya, tetapi jika digunakan secara tidak benar akan menurunkan derajat manusia menjadi binatang bahkan lebih rendah dari binatang.
Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin lebih didasarkan pada pertimbangan biologi. Akan  lebih baik jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan pertimbangan humanis-filosofis.
Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini akan menggambarkan sebagai manusia baik yang terdiri dari unsur: benda mati+hidup (berkembang)+nafsu+akal+moral. Kekuatan moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga kehidupan manusia menjadi lebih bermakna.
Manusia harus bermoral/beretika karena manusia makhluk yang berakal, segala perbuatan, tindakan, dan perkataan manusia harus dipertanggungjawabkan.Norma moral itu berlaku mutlak, tetapi tidak memaksa. Norma moral berlaku bagi semua manusia, tidak berlaku bagi hewan, karena hanya manusia yang berakal.
Moral dan etika hanya dikenakan pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia yang mempunyai kesadaran (kesadaran dalam hal ini berarti psikologis-filosofis). Penilaian hanya  ditujukan bagi manusia yang mempunyai akal dan sudah mempunyai kesadaran.
Alasan dasar dan rasional mengapa manusia harus menggunakan moral/etika sebagai landasan segala tindakannya adalah karena dia berakal dan mempunyai kesadaran.
Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang lapar, di depannya ada makanan yang biasa dimakannya, tanpa banyak pertimbangan dia tentu akan segera menyantapnya. Berbeda dengan manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan lezat ia tidak akan langsung menyantapnya. Moral mutlak berlaku bagi manusia dalam hidup bersama. Manusia adalah makhluk yang berbudaya.
Ilmu Pengetahuan dan Etika
Ilmu pengetahuan dalam bahasa Inggris  science, bahasa latin scientia berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno  ilmu pengetahuan memiliki beberapa syarat: berobjek , bermetode, sistematis, dan universal. Adapun ilmu pengetahuan memilki beberapa sifat: terbuka, milik umum, objektif, dan relatif.
Nilai-Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terdapat masalah mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu masalah apakah ilmu itu benar  nilai atan tidak. Ada dua sikap dasar, pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang kemudian dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam.
Yang ke dua  kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari kebenaran tetapi untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, tetapi juga pragmatis. Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. Semboyan dasar dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu untuk manusia.
Kedua kubu yang bertentangan mempunyai asumsi yang berbeda.  Jalan keluar dari kemelut ini adalah sintesis keduanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan  Context of justification dan context of  discoveryContext of justifiction adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah sedangkan Context of discovery adalah konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan.
Ilmu pengetahuan dalam kontek keIndonesiaan
Tradisi kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum mapan sebagaimana tradisi di dunia Barat. Bangsa Indonesia mempunyai sistem nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah adalah suatu imperative Ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya sendiri memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam proses penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masyarakat. Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, masyarakat, bangsa  dan Negara Indonesia.
Ilmu yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai  humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nila keadilan sosial.
Sila Ketuhanan  Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargai kemampuan rasionalitas manusia semata tetapi juga menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai karena aktifitas akalnya saja tetapi juga aspek-aspek lain yang irrasional. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna  bahwa ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada fungsi semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector tertentu. Sila Persatuan Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang  lokal sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional bangsa Indonesia. Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu  pertimbangan yang representatif  untuk  harus mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak.
Ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan  dibawah suatu lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan, maka harus ada nilai-nilai yang menjadi ruh yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu etika  ilmiah bagi ilmuwan, sehingga ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Ada beberapa sikap ilmiah yaitu, kejujuran dan kebenaran, tanggung jawab, setia, sikap ingin tahu, sikap kritis, sikap independen/mandiri, sikap terbuka, sikap rela menghargai karya& pendapat orang lain, dan sikap menjangkau kedepan

C.  Analisis kritis dan Solusi
Analisis kritis
Jurnal ini lebih membahas pada etika yaitu filsafat moral yang kaitannya dengan bangsa Indonesia. Ada ilmuwan yang memberikan statement tentang kekuatan dari akal, mereka memuja dan mempercayai akal secara berlebihan. Mereka beranggapan bahwa akar adalah segala-galanya. Tapi saya setuju dengan pendapat atau statement dari Imanuel Kant yang mengatakan bahwa “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia”. Artinya, moral merupakan hal penting, hal utama yang ada pada manusia yang perlu untuk diperhatikan.
Dengan adanya kemajuan zaman, maka semakin bertambahlah pengetahuan manusia untuk menciptakan suatu ilmu pengetahuan teknologi yang modern. Namun, itu semua tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi oleh moral. Dewasa ini manusia berlomba-lomba untuk menambah pengetahuannya, namun tidak untuk menambah nilai moral yang ada dalam dirinya.
Akal merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Namun moralitas merupakan hal penting juga yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan adanya moralitas, maka kita dapat menemukan hakekat sebenarnya dari kemanusiaan. Untuk apa kita memiliki pengetahuan yang banyak namun perilaku kita tidak mencerminka manusia bermoral. Itu berarti kita sama saja dengan binatang, apabila dalam melakukan sesuatu hal tanpa disertai moral.
Orang-orang hanya mementingkan dan takut kepada norma hukum, bukan kepada norma moral yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia. Orang-orang sudah tidak lagi mementingkan tentang moral.

Solusi

Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan memperhatikan, mempelajari, mengajarkan serta selalu mengingatkan bahwa moral merupakan hal penting yang harus tetap  dijaga meskipun terjadi perubahan ke zaman yang lebih modern.